
MENJELAJAH POTENSI DESA TUA TARO
Desa
Taro awalnya dikenal dengan sebutan Bhumi Sarwaa Ada yang artinya serba ada.
Julukan ini diberikan oleh seorang Maharsi Agung, Ida Maha Rsia Markandeya yang
berasal dari India, yang diperkirakan tiba di Bali pada abad ke-7. Beliau
datang untuk mengajarkan Agama Hindu dan mengajarkan tata cara bercocok tanam.
Sistem Subak yang populer di Bali diperkirakan diajarkan pertama kalinya oleh
beliu saat tiba di Desa Taro. Kehadiran beliau meninggalkan jejak-jejak sejarah
dan warisan budaya yang sangat kaya di Desa Taro. Salah satu situs sejarah yang
melegenda di Desa Taro adalah Pura Kahyangan Jagat Pura Agung Gunung Raung dan
Konservasi Duwe Lembu Putih.
Secara
administratif, Desa Taro berada di Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar,
Provinsi Bali. Desa Taro terletak sekitar 600-750 meter diatas permukaan laut.
Sehingga Desa Taro memiliki hawa yang sangat sejuk dan agak dingin. Apalagi,
sebagian besar masyarakatnya adalah bermata pencahariaan petani, sehingga masih
sangat mudah sekali ditemui lahan-lahan pertanian yang terbentang luas dan
asri. Seperti hamparan persawahan bertingkat (Rice Terrace) perkebunan aneka
buah, sayuran dan bunga.
Legenda Perjalanan Suci Sang Maha Rsi
Diceritakanlah
seorang pertapa agung sedang bersemedi dan memohon tuntunan dari sang penguasa
jagat raya di pegunungan Dieng, Jawa Tengah. Tiba-tiba beliau melihat sinar
berwarna kuning keemasan menjulang tinggi ke langit angkasa, dan beliu di
daulat untuk menemukan sinar suci keemasan tersebut. Beliaulah sang Maha Rsi
Agung, Maha Rsi Markandeya. Yang berasal dari India untuk menyebarkan ajaran
Darma (Agama Hindu)Diceritakanlah perjalanan beliau melintasi pegunungan Raung
di Jawa Timur dan menetap untuk beberapa saat untuk mengajarkan Dharma kepada
penduduk sekitar dan membangun beberapa parhyangan.
Setelah tiba waktunya, beliu kembali melanjutkan perjalanan menuju timur laut
dan diiring oleh 400 pengikut. Namun sayang, sebagian dari pengikut beliau
terkena wabah panyakit. Akhirnya beliau kembali ke Gunung Raung, Jawa Timur
untuk kembali memohon petunjuk dari sang pencipta. Setelah semuanya
dipersiapkan, beliau kemudian kembali menuju Bali Dwipa dan diiringi oleh 800
pengikut. Pertama-tama beliau memohon ijin kepada sang penguasa jagat dengan
menanam Panca Datu (Lima Jenis Logam Alam) di kaki Gunung Tohlangkir (Gunung
Agung)
Dari
sinilah, beliau mulai memerintahkan pengikutnya untuk mulai merabas hutan dan
menanam tanaman palawija dengan serangkaian ritual sesuai ajaran Dharma…
Demikianlah
sekelumit kisah perjalanan beliau dari Markandeya Tattwa, sebuah prasasti kuno
yang masih disakralkan di pura Agung Gunung Raung Taro.
Kekhasanahan Sejarah Desa Taro Yang
Melegenda
Keberadaan
Desa Taro tidak bisa dilepaskan dari kaitan sejarah perjalanan suci sang Maha
Yogi Ida Maha Rsi Markandeya. Setelah merabas hutan, beliau disebutkan
membangun parhyangan untuk memberikan wejangan-wejangan mengenai ajaran Dharma
untuk menuntun peri kehidupan masyarakat agar hidup rukun. Beliau juga mengajarkan
tatacara bercocok tanam dan berbagai ritual-ritual penting dalam kehidupan
beragama Hindu yang masih dilestarikan sampai saat ini. Sistem pertanian Subak
yang sangat tersohor ini diyakini pertama kali diajarkan di salah satu dusun
yang ada di Desa Taro yaitu Dusun Puakan. Adapun ritual-ritual keagamaan yang
masih tetap dilestarikan oleh masyarakat setempat dipercayai telah ada smenjak
abad ke-7 semenjak kedatangan beliau ke tanah Bali. Ritual-ritual unik itu
misalnya: tegen-tegenan, negtegin, nyaciin, mebegal-begalan dan banyak lagi
tradisi unik yang sangat kental dengan simbolisasi religius.
Situs-Situs Sejarah yang Masih Membekas.
Desa
Taro termasuk salah satu desa tua yang masih tetap bertahan dengan ritual
tradisional berumur ribuan tahun. Tidak hanya bertahan, masyarakatnya juga
mampu melestarikan situs-situs sejarah yang ada di tengah perubahan jaman yang
tidak terelakkan. Misalnya, keberadaan Pura Pucak Sabahang Dahet. Pura ini
berlokasi di tengah-tengah hutan dengan dikelilingi pepohonan-pepohonan besar
berumur ratusan tahun. Pemimpin adat melarang penebangan phon/berburu di areal
ini. Begitu pula dengan kondisi pura. Ditengah kemajuan perekonomian masyarakat
Bali dari cipratan pariwisata, dimana sebagian besar masyarakatnya berlomba-lomba
untuk membangun pura yang megah, kami memilih untuk mempercayai bahwa pura
tersebut harus selamanya dijaga mertiwi (menyatu dengan bumi). Tidak ada
bangunan megah di tempat ini, sehingga kesakralan dan suasana magis pura ini mampu
mengantar siapapun yang berkunjung untuk lebih dekat dengan sang pencipta bumi.
Selanjutnya
adalah Pura Agung Gunung Raung. Pura Sad Kahyangan ini diyakini selamat dari
berbagai fenomena alam dan perang antar kerajaan di era kedinastian di Bali.
Pura Agung inilah representasi dari kehadiran sang Maha Rsi Markandeya di tanah
Bali dan menetap cukup lama di Taro untuk mengajarkan ajaran Hindu Dharma. Pura
ini memiliki berbagai keunikan dibandingkan pura-pura pada umumnya. Misalnya
keberadaan titi gonggang, bale agung sepanjang 20 meter, gapura mengarah empat
mata angin kiblatnya mengarah ke Gunung Raung dan lain sebagainya. Pura ini
juga menyimpan berbagai artefak Bali Kuno yang disakralkan oleh masyarakat
setempat.
Begitu
pula dengan keberadaan Duwe Lembu Putih, yaitu sapi berwarna putih yang sangat
disucikan oleh penduduk setempat, dan dilestarikan dengan baik sebagai sarana
penting upacara-upacara besar di Bali. Jika upacara tersebut dilaksanakan, maka
dibuatlah ritual sebagaimana layaknya menjemput seorang pendeta. Banyak pula masyarakat
sekitar yang memohon kesembuhan dari penyakit-penyakit non medis dengan memohon
empehan (cairan susu) dari Duwe Lembu Putih.
Alas
Taro yang terletah di hulu desa memberikan sedikit gambaran, bagaimana suasana
Bali ribuan tahun silam saat kehadiran sang Maha Yogi. Hutan belantara yang
juga masih lestari ini juga merupakan situs konservasi alam yang disakralkan
oleh masyarakat Taro. pura-pura yang dibangun di sekitar hutan ini, merupakan
sebuah pemujaan atas keagungan sang maha pencipta semesta.
Pesona Alam dan Budaya yang memikat.
Desa
Wisata Taro menyajikan keasrian desa yang mempesona yang dipadukan dengan
berbagai keunikan budaya setempat dan ditambah dengan keramahan penduduknya,
dipastikan merupakan modal utama untuk pengembangan Desa Wisata berbasis alam
dan budaya. Berbagai prasana pendukung untuk memanjakan wisatawan ke Taro sudah
mulai dibangun dan dikembangkan. Misalnya untuk sarana Akomodasi: Govinda, Jro
Mangku Home Stay dan Fireflies Villas. Sarana adventure sudah terdapat: Yeh
Pikat River Trekking, Spiritual Cycling, ATV Ride dan Paintball. Sedangkan
untuk pecinta kuliner, juga terdapat Balinese Farm Cooking School. Sehingga
pengalaman pengunjung saat datang di Taro betul-betul memperoleh pengalaman
desa yang sangat menyenangkan. Begitu pula dengan spot-spot foto yang
menyuguhkan keagungan alam sangat mudah sekali dijumpai untuk ditampilkan di
media sosial.
Mari
berkunjung dan nikmati suasana desa yang asri, unik, bersahaja dan menyegarkan.