Loading...
 
 

LONTAR BUDA KECAPI

Semoga tidak menemui rintangan. Mohon maaf kepada Dewa Siwa. Apakah disebut awighna, apakah yang disebut nama siddham, sebaiknya kau mengetahui makna awighnamastu. Jika kau paham, kau boleh menggunakan ilmu ini untuk mengobati. Jika kau tidak paham makna awighnamastu, janganlah kau berani melecehkan ilmu ini. Ilmu ini dinamakan Siwalingga, sabda Tuhan yang dianugrahkan kepada para guru dunia. Om maksudnya sarira (badan), awi maksudnya aksara (huruf), ghna artinya tempat bersemayam, mastu artinya kepala, nama maksudnya anugrah, si maksudnya matahari; dham maksudnya bulan. Itulah yang patut dipahami tentang tempat bersemayam Dewa. Kau tidak akan menemukan bencana. Demikianlah sabda Dewa pada zaman dulu. Ini merupakan ilmu rahasia, Usada Sari. Ketika diturunkan di Pura Dalem, ini adalah sabda Hyang Pramakawi. "Begitu amat tergesa-gesa kalian berdua, cepatlah katakan sekarang, agar aku tahu!" Demikian kata sang Budhakecapi kepada mereka berdua. Selanjutnya, sang Klimosadha menjawab bersama sang Klimosadhi: "Kami berasal dari Lemah Surat, kami sedesa. Kami ini bernama sang Klimosadha dan sang Klimosadhi!" Lalu sang Budhakecapi berkata: "Baiklah, aku bertanya kepada kalian berdua, aku mendengar berita tentang orang yang bernama sang Klimosadha dan sang Klimosadhi, terkenal ahli dalam meramal dan mengobati, konon demikian!" Mereka berdua segera menjawab: "Hamba memang begitu, (tetapi) hamba berdua ingin berguru kepada Tuan, jika Tuan berbelas kasih memberi anugrah kepada hamba berdua, hamba menyerahkan nyawa seumur hidup kepada Tuan, tetapi maafkanlah. Apakah sebabnya (hamba ingin berguru)? Karena Tuan yang bernama sang Budhakecapi, melakukan semadi, amat tekun dan teguh, sepanjang umur, serta telah sempurna dalam batin, doa pujianmu sang Budhakecapi menembus ke tujuh lapisan bumi, menembus ke angkasa". Selanjutnya, Bhatara Siwa turun menuju Kahyangan Cungkub, bertemu dengan Hyang Nini di Pura Dalem. Setelah beliau bertemu, beginilah sabda Bhatara Siwa: "Wahai sang Nini Dalem, aku menitahkanmu sekarang, turun menuju kuburan tempat pembakaran jenasah, kau Hyang Nini berhak memberkahi segala doa sang Budhakecapi, yang sangat tekun bersemadi. Kau Hyang Nini berhak mengabulkan segala permintaannya, segala kesempurnaan batin, sebab sang Budhakecapi sangat tekun bersemadi!" Lalu Hyang Nini berkata kepada Bhatara Siwa: "Jika itu perintah Bhatara, hamba menuruti titah Bhatara, sekarang hamba turun menuju kuburan tempat pembakaran mayat!" Kemudian Bhatara Siwa melesat menuju alam Siwa. Kini dikisahkan Hyang Nini Dalem datang ke kuburan tempat pembakaran mayat. Maksud Hyang Nini adalah memberikan berkah kepada sang Budhakecapi, karena telah direstui oleh Bhatara Siwa. Dengan cepat tiba di tempat sang Budhakecapi melakukan semadi. Segera sang Budhakecapi menghormat. Lalu Bhatari Hyang Nini berkata: "Wahai kau sang Budhakecapi, cukup lama kau berada di sini, bermalam di tempat pembakaran mayat, apakah yang kau harapkan? Apakah yang kau minta kepada Bhatara?" Lalu sang Budhakecapi menjawab: "Daulat Paduka Hyang Nini, doa harapan hamba adalah hamba memohon belas kasih Bhatara agar hamba paham hakikat makrokosmos dan mikrokosmos. Semoga Paduka Bhatari berkenan menganugrahkan kekuatan batin yang sempurna supaya hamba tidak terkalahkan oleh semua pesaing hamba, dan juga segala tatacara orang dalam memahami asal-usul penyakit, supaya hamba memahami hakikat bisa, racun, dan penyakit tiwang moro, ilmu desti teluh taranjana, serta hakikat pamala-pamali, dan segala ajian ampuh, demikian pula hakikat hidup dan mati, serta hakikat kekuatan sabda, itulah permintaan hamba kepadamu Bhatari Nini!" Kemudian Hyang Nini berkata: "Wahai sang Budha- kecapi, sekarang aku akan memberimu anugrah, baiklah, cepatlah julurkan lidahmu keluar, aku mau me-rajah1 lidahmu dengan mantera Om nama siwaya. Satu persatu mulai dengan Om, na untuk hidungmu, ma untuk mulutmu, si untuk matamu, wa untuk tubuhmu, ya untuk telingamu. Demikian pula makna Sanghyang Omkara, seperti windu, nadha, ardhacandra yang berada dalam tubuh, yang dinamakan asal mula Sanghyang Candra Raditya. Yang berada di mata kanan adalah Sanghyang Raditya, yang berada di mata kiri adalah Sanghyang Candra. Wahai sang Budhakecapi semoga kau paham tentang tatacara mencapai moksa karena lidahmu telah dirasuki kekuatan tulisan gaib, yang merupakan anugrahku, Hyang Nini Dalem, kepadamu! Inilah yang dinamakan tempat Sanghyang Omkara Sumungsang yakni di pangkal lidah, batu manikam, tempat pertemuan Sanghyang Saraswati, di lidah. Ini merupakan pemberi kekuatan gaib kepada batin, sangat utama, jangan sembrono, kau tidak akan berhasil (jika sembarangan). Inilah mantera kumpulan sumber kekuatan: "Om lep rem, ngagwa rem, papare, dewataning bayu pramana". Inilah menjadi persemayaman Sanghyang Saraswati, sebagai tulisan ajaib di lidah sang Budhakecapi, dan inilah doa untuk tempat aksaranya, yakni Om Sanghyang Kedep di pangkal lidahmu, Sanghyang Mandiswara di ujung lidahmu, Sanghyang Mandimanik di tengah lidahmu, Sanghyang Nagaresi di dalam otot lidahmu, Sanghyang Manikastagina di kulit lidahmu, dewanya adalah Bhatara Siwa, sebagai pemberi kekuatan hidup adalah Hyang Brahma Wisnu Iswara, sorganya adalah di hati, di empedu, di jantung, inilah persebaran tempat beliau Sanghyang Tiga, yakni Ang di hati, Ung di empedu, Mang di jantung. Inilah ajian Sanghyang Triaksara yang patut diingat, manteranya Om Ang Mang. Ajian ini sangat utama, jangan sembrono, memusatkan kekuatan batin, semoga kau sang Budhakecapi dapat memahami ajian Nitiaksara Sari, serta hakikat arti Sanghyang Pancaksara yang berada di alam, yang mana tempatnya, yang mana pula lambang aksara sucinya, inilah yang harus kau ingat wahai sang Budhakecapi, semoga kau paham, tinggalah kau di sini, aku akan pulang kembali menuju Kahyangan Cungkub!" Lalu segera sang Budhakecapi menghormat kepada Hyang Bhatari Nini, dengan mantera: "Om niratma ditempatkan di leher, atyatma di antara kedua alis, niskalatma di pusat telapak tangan, sunyatma di pusat kepala, alam dewata yang kokoh". Setelah Hyang Nini terbang melesat, menuju Kanghyangan Cungkub. Ceritanya dihentikan sebentar. Cerita berganti, dikisahkan sang Budhakecapi, sangat terkenal ke seluruh masyarakat, sangat kuat dan sempurna, pandai dan ampuh dalam berucap, segala ragam bahasa, mahir dalam doa pemujaan, bertempat tinggal di kuburan, sangat tekun, demikianlah kisah sang Budhakecapi dihentikan dulu. Kini cerita berganti, adalah dua dukun laki-laki, bernama sang Klimosadha dan sang Klimosadhi, tinggal di satu desa, yakni Lemah Tulis. Mereka sangat terkenal sakti, mahir mengobati, dan tidak pernah terkalahkan oleh segala jenis penyakit, dan sang Klimosadi tidak pernah terkalahkan oleh bisa dan obat racun, tetapi ada kekurangannya, ia tidak tahu mendeteksi (meramal) penyakit, hanya berpegang teguh pada keyakinan dan memaksakan, mencari orang sakit dan yang menyakiti, hanya sebegitu saja kepandaiannya. Dihentikan dulu kisah sang Klimosadha. Kini diceritakan ada orang sakit bernama Sri Hastaka. Ia sangat menderita kesusahan, maksudnya hanya mencari sang Klimosadha. Kemudian ia datang ke rumah sang Klimosadha. Baru saja ia tiba di rumah sang Klimosadha, dengan cepat sang Klimosadha menyapa: "Wahai, Tuan dari mana? Apa maksud kedatanganmu ke mari?" Si pencari dukun menyahut: "Hamba mengundang Tuan, maksud hamba menemui Tuan adalah hamba memohon keselamatan, semoga Tuan berbelas kasihan kepada hamba, semoga Tuan berkenan datang ke rumah hamba, untuk memeriksa kakak hamba, yang menderita penyakit!" Sang Klimosadha berkata: "Aku menuruti permintaanmu!" Tidak diceritakan (panjang lebar), ia telah tiba di rumah si pasien. Sang Klimosadha tanpa sepatah katapun memperhatikan dengan saksama si pasien, serta memegang tubuh bagian bawah dan bagian atas si pasien, segala kondisi si pasien juga diperhatikan dengan saksama. Setelah itu, lalu sang Klimosadha duduk. Kini si pencari dukun tadi bertanya: "Baiklah, hamba berkaul kepadamu, jika nyawa kakakku bisa diselamatkan, hamba tidak takut memberi upah dan hadiah yang sepantasnya. Jika ia akan mati, dimanakah kesulitan mendeteksinya?" Sang Klimosadha menjawab: "Menurutku, jika aku memegangnya, orang ini tidak akan mati, janganlah kau sedih, tenangkanlah hatimu, carilah ramuan obat minum dan ramuan bedak serta ramuan untuk obat semburan!" Orang yang disuruh mencari ramuan segera berangkat. "Dulu, aku sering menyembuhkan penyakit semacam ini, tidak pernah sampai dua kali aku memberikan-nya obat, hanya sekali saja sudah sembuh, sangat mudah aku menangani penyakit seperti ini!" Orang yang disuruh mencari bahan obat segera datang, serta dengan cepat pula telah matang. Lalu sang Klimosadha segera meracik obat. Setelah memberi obat minum, bedak, dan obat semburan, sang Klimosadha duduk. Jika bisa sembuh, tentu banyak orang akan merasa ikut berbahagia. Tiba-tiba saja sang Klimosadha lupa memeriksa nyawa si pasien, sehingga si pasien pun mati. Sang Klimosadha sangat malu. Semua orang yang berada di sana berwajah curiga, sebab baru saja diberi obat minum, bedak, dan obat semburan, si pasien kemudian mati, dan juga sang Klimosadha telah mengatakan bahwa si pasien tidak akan mati, namun kini mati. Sang Klimosadha sangat malu dalam hatinya, akhirnya ia pergi tanpa pamit menuju rumahnya. Setelah tiba di rumahnya, ia tidak enak makan dan minum, siang malam, sang Klimosadha sangat malu. Cerita sang Klimosadha dihentikan sejenak. Kini dikisahkan sang Klimosadhi, termashur dalam mengobati pasien yang terserang bisa dan racun. Diceritakan seorang wanita bernama Sridhani, yang sudah berusia cukup tua, tertimpa penyakit kronis, sangat sukar menangani penyakitnya. Si pencari dukun datang ke rumah sang Klimosadhi. "Wahai Ibu, darimana asalmu? Apa maksud kedatanganmu ke mari?" Si pencari dukun itu menjawab: "Hamba minta tolong, hamba menangani orang sakit. Jika Tuan berbelas kasih kepadaku, sudilah Tuan datang ke rumahku, agar Tuan mengetahui si pasien!" Sang Klimosadhi menjawab: "Jika begitu, aku menurutimu!" Setelah datang di rumah si pasien, lalu sang Klimosadha memeriksa si pasien, dipegangnya bagian bawah dan bagian atas tubuh si pasien. Setelah itu, lalu sang Klimosadhi berkata: "Ini orang sakit terserang racun, ia terkena racun yang diracik orang. Sekali saja, sangat gampang menyembuhkan penyakit ini. Aku sering menyembuhkan penyakit seperti ini. Tidak usah dua kali, cukup sekali saja sudah sembuh, sangat mudah menolong orang sakit semacam ini!" Orang yang punya pasien bergegas membuat sesajen hadiah. Lalu sang Klimosadhi merapalkan mantera untuk membuat obat, bedak, dan obat semburan. Setelah itu, lalu sang Klimosadhi mengunyah daun sirih, dan memberikan sepahnya kepada si pasien, serta menyandangnya. Setelah itu, tiba-tiba si pasien pusing, tidak sadarkan diri hingga malam hari, dan dadanya sesak, kerongkongannya seperti tersumbat!" Si pencari dukun berkata: "Mengapa bisa begini? Lalu apa yang dapat dilakukan, apakah obatnya perlu diganti? Hamba minta tolong dengan sangat agar ipar hamba ini bisa sembuh. Hamba tidak takut kepada upah, maupun hadiah!" Lalu sang Klimosadhi mengganti obat. Setelah obat itu diminum, tetap saja si pasien pusing tidak sadarkan diri, tidak bisa makan, lalu akut. Kemudian dengan cepat sang Klimosadhi mengeluarkan mantera, melalui ubun-ubun, telinga, hingga sang Klimosadhi kehabisan akal, memusatkan batin bersemadi bertumpu satu kaki. Si pasien semakin tidak sadarkan diri. Lalu sang Klimosadhi berkata: "Ah, jika demikian keadaan si pasien, aku yang salah memberi obat!" Tiba-tiba sang Klimosadhi pergi, ia sangat merasa malu, bertolak pulang. Setelah tiba di rumahnya, muncul niat sang Klimosadhi, bermaksud berguru kepada sang Klimosadha. Segera sang Klimosadhi pergi ke rumah sang Klimosadha. Begitu ia tiba, sang Klimosadha menyapanya: "Wahai adikku, sang Klimosadhi, selamat datang di rumahku, apakah maksud kedatanganmu, adikku?" Sang Klimosadhi menjawab: "Aku bermaksud berguru kepadamu, kakak!" Sang Klimosadha berkata: "Mengapa kau ingin berguru kepadaku? Jika begitu, adikku, kau tidak akan mendapat apa-apa. Kakak juga tidak ingin mengangkat murid. Apa sebabnya, katakanlah, wahai adikku!" Sang Klimosa-dhi menjawab: "Beginilah asal mulanya. Aku mengobati seorang wanita, yang bernama Sridhani. Ia terserang penyakit kronis. Di situlah aku kalah, aku sangat malu, itulah sebabnya aku hendak berguru kepada kakak!" "Jika begitu, kau sia-sia saja, kakak juga ingin berguru, sebabnya adalah kakak mengobati orang sakit bernama Sri Hastaka, seorang lelaki, di situ kakak kalah!" Sang Klimosadhi berkata: "Jika begitu, marilah kita melakukan semadi, aku menurutimu, jika kakak mendapat wahyu, aku minta tolong kepadamu, jika aku mendapat wahyu, aku akan menolongmu, demikianlah maksudku!" Lalu sang Klimosadha berkata: "Jika begitu, sulit rasanya, adikku. Jika kau setuju denganku, marilah bersama-sama denganku, aku ingin berguru kepada sang Budhakecapi, sebab sang Budhakecapi mendapat anugrah dari Hyang Nini!" Sang Klimosadhi menyahut: "Jika begitu, baiklah, aku setuju denganmu, kakak!" Akhirnya, segera mereka berangkat menuju kuburan tempat pembakaran mayat. Setelah tiba di tempat sang Budhakecapi, lalu mereka berdua disapa oleh sang Budhakecapi: "Wahai Tuan berdua, apa maksud Tuan datang ke mari, begitu tergesa-gesa, berdua, silakan katakan agar aku mengetahui!" Sang Klimosadha dan sang Klimosadhi menjawab: "Hamba ini berasal dari Lemah Tulis, hamba sedesa, demi-kianlah Tuan, hamba berdua bernama sang Klimosadha mwang sang Klimosadhi!" Lalu sang Budhakecapi berkata: "Baiklah, aku ingin bertanya kepada kalian berdua, aku mendengar berita orang yang bernama sang Klimosadha dan sang Klimosadhi, terkenal mahir dalam pengobatan, begitulah konon!" Segera mereka berdua menjawab: "Hamba memang begitu, (namun) hamba ingin berguru kepada Tuan, jika Tuan berkenan kepada hamba berdua, hamba menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuan, disertai dengan permohonan maaf hamba!" "Wahai, adikku berdua, agar aku dapat mengetahuimu, apa sebabnya kau ingin berguru kepadaku? Katakanlah dengan sejujurnya kepadaku agar aku paham!" Sang Klimosadha menjawab: "Sebabnya hamba berniat keras berguru karena hamba pernah mengobati dan hamba dikalahkan oleh suatu penyakit, hamba berdua sangat merasa malu ketika hamba dikalahkan. Setelah hamba memberi obat, bedak, dan obat semburan, tiba-tiba si pasien meninggal seketika, itulah sebabnya hamba sangat malu!” Sang Budhakecapi berkata sambil tertawa terkekeh-kekeh: “Wahai sang Klimosadha dan sang Klimosadhi, jika begitu, kau telah terkena kutukan ajian Sanghyang Mantra Sidhi, dan Sanghyang Batur Kamulan, serta Sanghyang Kami Tuwuh, karena beliau berwujud Sanghyang Atma dan Sanghyang Bayu Pramana, itulah yang mengutukmu, karena orang itu sudah saatnya harus mati, lalu kau mengobatinya. Kare-na kau menunda kematiannya, kau salah menanganinya, jangan kau begitu lagi. Dan lagi, adikku, jika ada orang mengundangmu, dengan memberikan obat dua, tiga, empat, lima kali kau membuat obat untuk satu orang, penyakit orang itu juga tidak berkurang, lalu kau salah memberi obat, jangan begitu, jika seperti itu, itu bukan dukun namanya, itu namanya dukun demi uang dan beras. Itu sangat dikutuk oleh dewa yang dipuja!” Sang Klimosadha dan sang Klimosadhi berkata: “Baiklah, jika demikian, hamba akan menyerahkan diri, sekehendak Tuan memerintah hamba, dan lagi hamba memohon belas kasih, agar hamba pandai sama seperti Tuan!” Segera sang Budhakecapi menjawab: “Wahai sang Klimosadha dan sang Klimosadhi, kau benar-benar ingin melakukan aguru waktra kepadaku?” Lalu sang Klimosadha berkata: “Oh, seperti apakah yang dimaksud aguru waktra? Hamba belum paham!” Sang Budhakecapi berkata: “Beginilah, yang dimaksud aguru waktra. Kuatkanlah batinmu dalam mendalami segala ajian utama, serta hakikat ajian Taru Geseng, dan juga keutamaan aksara suci, itulah didalami dengan saksama, diberikan kepada murid-murid, demikianlah perihal orang menjalani aguru waktra. Kau tidak lagi dikutuk oleh guru. Jika gurumu menemui kesulitan disebabkan oleh orang jahat, seorang murid pantas mempertaruh-kan nyawa, hingga ke anak-cucunya. Jika kau teguh menjalankan ajaran aguru waktra, kelak jika kalian pada mati, arwahmu akan menjelma bersama, sehingga ada istilah orang lahir kembar, atau buncing, demikian asal-usulnya, sama-sama menemui kebaikan dan keburukan!” Dengan senang hati mereka berdua berkata: “Jika demikian perihal berguru, hamba senang seumur hidup, namun jika berkenan, hamba sekalian menyerahkan nyawa!” Demikian perkataan mereka berdua. “Hamba berdua ikut seperti itu!” Sang Budhakecapi berkata: “Jika begitu, aku buatkan upacara aguru waktra untuk kalian berdua, semoga kau berhasil! Wahai Sang Klimosadha dan sang Klimosadhi, kini aku memberikan ajaran kepadamu supaya kalian paham, tetapi dengarkanlah dengan baik segala petuahku, yang aku anugrahkan kepadamu. Jika kau mengobati orang, janganlah kalian lemah, jangan tidak memeriksa keadaan tubuh si pasien, dan harus tetap waspada terhadap sinar mata si pasien, supaya jelas menyatu, sebab di sanalah tampak bayangannya, di sana tampak Brahma Wisnu Mahiswara, penyakit panas, dingin, hangat, atau gejala hidup dan mati, di sanalah diperhatikan bayangannya. Jika kau telah memahaminya, kau tidak bisa dikalahkan dalam pengobatan. Jika tampak tanda-tanda ajal tiba, janganlah kau melakukan pengobatan. Jika kau merasa kasihan kepada pasien itu, dan jika kau memberinya obat, janganlah disertai rapalan mantera. Jika tidak demikian, kau akan dikutuk oleh Sanghyang Mantra, sebab ajal si pasien memang sudah tiba saatnya dan kau tetap melakukan pengobatan. Sang Klimosadha dan sang Klimosadhi berkata: “Baiklah, bagaimana tanda-tanda orang akan mati atau yang akan hidup. Hal itu hamba belum mengetahui. Dan lagi, apakah yang dapat menimbulkan penyakit, ataupun yang dapat membasmi segala penyakit? Demikian pula mengapa ada penyakit panas dan hangat itu, beritahulah hamba dengan sebenarnya agar hamba paham!” Sang Buddha-kecapi menjawab: “Beginilah asal-usul penyakit itu. Asal mula adanya penyakit panas membara itu adalah bersumber pada makrokosmos dan mikrokosmos, Sanghyang Tiga sumbernya, yaitu Brahma, Wisnu, Iswara namanya. Beliau bisa menjadi dukun dan juga bisa menjadi penyakit. Yang lebih besar akan menjadi sumber penyakit dan yang lebih kecil akan menjadi sasaran penyakit. Sanghyang Tiga berwujud baik dan buruk berada di dunia. Adapun tempat suci beliau adalah timur, selatan, utara. Jika di dalam mikrokosmos (tubuh manusia), Bhatara Iswara berada di jantung, dengan sabda Mang, sebagai dasar suara manis, warnanya putih, belia menimbulkan Sanghyang Sandisakti wisesa. Bhatara Brahma berada di hati, sabdanya Ang, beliau menciptakan makanan abadi yang menajamkan kekuatan, warnanya merah. Bhatara Wisnu di empedu, sabdanya Ung, rupanya hitam. Beliau menjadi sumber kekuatan nafas, inilah yang harus diingat, ia menimbulkan penyakit, ia pula menjadi dukun, beliaulah yang berwujud demikian sehingga penyakit itu ada tiga macam, begitu pula penawarnya ada tidak jenis, beliau merupakan guru para dukun dan semua pendeta, sebagai guru para Bhuta Kala Dengen, Pamala-pamali, tumbal, tuju, tiwang moro, desti, teluh, taranjana, roh, dewa. Beliau silih berganti menjadi guru. Oleh karena itu, adalah Sanghyang Kawiswara Japa, dengan kekuatannya bernama Sanghyang Mancongol, ketika diberikan anugrah kekuatan untuk pengobatan ketiga dunia. Sebagai teman beliau adalah Sri Bhagawan Resi Kunda, dikenal di seluruh masyarakat. Sebagai pemberi kekuatannya adalah Sanghyang Prajapati dari alam Maya, Bhatara Siwayogi yang berada di Catur Winasakrama, Bhagawan Mrecukunda Wijaya, Bhagawan Mredu, Bhagawan Wrehaspati, Bhagawan Mrecukunda, Bhagawan Kasyapa, Bhagawan Mpu Siwagandu, Bhagawan Mpu Pradah. Beliau sekalian berada dalam Wariga, memasang bhasma (sebagai tanda sekte) dan berperilaku suci, tempat persemayaman beliau ada di seluruh persandian, di sanalah beliau beryoga, menimbulkan penyakit. Karena itu, dalam pengobatan ada banyak obat, sebagai perwujudannya dalam mikrokosmos dan makrokosmos, sehingga banyak perwujudannya, asal mulanya obat hanya tiga, sumber penyakit juga ada tiga, tetapi setelah berubah wujud menjadi banyak. Adalah tiga perwujudan mulia namanya, itupun Sanghyang Tiga juga, pertemuannya mulia, utama di dalam diri, itulah patut dipuja dalam kemanunggalan. Jika telah menunggal berkat wahyu Sanghyang Mancongol, itulah penampakan doa pemujaan, segala yang mulia, jika kau paham menunggalkannya, kau akan tahu asal-usul penyakit, kau akan paham asal-usul obat, kau akan tahu asal-usul adanya dukun, asal-usul adanya penyakit, dan hakikat aksara suci, serta hakikat asal-usul bahasa, sepuluh jenis sinonimi, dan hakikat bahasa pluta. Ada lagi yang dimaksud panugrahan gring, tiada lain adalah Bhagawan Mrecukunda memohon anugrah kepada Bhatara Wisnu, dengan murid-muridnya adalah Kala Bhuta Dengen, maka timbulah jenis penyakit dingin menahun. Bhatara Brahma menjadi obat penawarnya untuk menyembuhkan. Bhagawan Mpu Siwagandu diberikan penyakit, dianugrahi oleh Bhatara Brahma, dengan murid adalah Ki Larung, maka timbullan penyakit panas menahun. Bhatara Wisnu sebagai obat penawarnya sehingga cepat sembuh. Jika Bhagawan Kasyapa membuat penyakit, dianugrahi oleh Bhatara Iswara, sebagai muridnya adalah Ki Bhuta Branjeng di Swamana, maka timbullah penyakit panas dalam. Sanghyang Tiga sebagai obat penawar untuk penyakit panas, dingin, sedang. Adapun jenis obat itu adalah panas, dingin, sedang. Begitu pula nama obat dan jenis penyakit itu. Asal mula obat dan penyakit itu satu, obat bisa menjadi bibit penyakit, bibit penyakit bisa menjadi obat, yakni api, air, angin. Itulah dinamakan Sanghyang Tiga, silih berganti jiwa, sangat ampuh keberadaannya, sehingga timbul tiga jenis penyakit yaitu panas, dingin, sedang. Demikian pula jenis obat penawarnya ada yang panas, dingin, sedang. Begitulah sebutan obat dan penyakit itu. Mengapa juga disebut laki, perempuan, dan banci? Asal mulanya seperti ini. Penyakit panas adalah laki-laki. Penyakit dingin adalah perempuan. Penyakit sedang adalah banci. Penyakit panas merupakan sihiran Bhatara Brahma. Penyakit dingin merupakan sihiran Bhatara Wisnu. Penyakit sedang merupakan sihiran Bhatara Iswara. Demikianlah adikku, ingatlah dengan baik nasihatku ini!” Sang Klimosadha dan sang Klimosadhi berkata lagi: “Hamba memohon belas kasih Tuanku lagi, beri tahulah hamba, apa yang dapat dipakai penawar untuk perwujudan Sanghyang Tiga!” Sang Budhakecapi menjawab: “Beginilah hakikatnya, adikku. Yang disebut dukun itu adalah satu yakni Sanghyang Tigaswari. Beliau adalah Bhatara Siwa, Sadhasiwa, dan Paramasiwa. Sanghyang Siwa memberi anugrah kepada Bhatara Iswara. Sanghyang Sadhasiwa memberi anugrah kepada Bhatara Wisnu. Sanghyang Paramasiwa memberi anugrah kepada Bhatara Brahma. Semua diberikan anugrah untuk menimbulkan penyakit di keempat dunia dan juga mengadakan obat, segala jenis obat. Penyebab timbulnya jenis penyakit panas, dingin, sedang karena Bhatara Brahma bersemayam di aksara sanga (sembilan aksara suci di dalam tubuh manusia), Bhatara Wisnu bersemay
am di celah Sanghyang Omkara Mula, Bhatara Iswara bersemayam di lepitan Genta Pinara Pitu. Ketiga wujud Sanghyang Tiga dipuja oleh Bhatara Siwa, (Sadasiwa), Paramasiwa, sama-sama bersemayam di alam makrokosmos dan mikrokosmos. Inilah tempat per-semayamannya, yang dinamakan Sanghyang Aksara Sanga, yakni Oý, Sang, Bang, Ing, Nang, Mang, Úing, Wang, Yang. Sanghyang Omkara Mula terdiri atas Ang Ung Mang. Ung adalah pinggala *, Mang adalah sumsum belakang, di bagian tengah dada. Ang adalah pusar bagian kanan. Inilah istana bagi Brahma
Pinggala * Pembuluh khusus dalam tubuh (tiga pipa pembuluh di sebelah kanan) yang menurut filsafat Yoga adalah bagian utama dari nafas dan udara.
Wisnu, Iswara. Hyang Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa, tempat persemayaman beliau adalah di lepitan Genta Pinara Pitu, yang terdiri atas Ang Oý bhùwebrörà; ngêp-ngêp. Begitulah tempat persemayaman beliau, adikku, yang harus kau ketahui. Itu harus diupacarai setiap hari sehingga bersih dalam menjalankan ibadat puasa, itu sangat utama, baik siang maupun malam hari, selama hidup, beliau merupakan kekuatan gaib yang sangat ampuh, abadi dalam alam semesta. Bhatara Brahma berwujud makanan, Bhatara Wisnu berwujud sumber nafas, Bhatara Iswara merupakan jiwa ketiga dunia. Jika kau memberi kekuatan gaib pada obat, Sanghyang Tiga itu harus dipuja dengan penuh keyakinan, tunggalkan menjadi satu. Caranya menunggalkan adalah satukan nafas yang keluar, pusatkan pikiran padanya, jika kau telah yakin, jangan goyah, jangan mendengar suara apapun, setelah itu, keluarkan Sanghyang Mantra. Jika Sanghyang Tiga keluar, rasakanlah. Cara mengeluarkan beliau dan tatacara menunggalkannya adalah Dewa di ujung kekosongan, dipertemukan di ujung penglihatan, kemudian ditunggalkan lagi di ujung hidung. Setelah itu, Sanghyang Tiga akan muncul. Tanda-tanda kemunculannya adalah ada kedutan di pangkal hidungmu, dan pandanganmu menjadi kabur, seluruh tubuh terasa lemah tanpa tenaga, demikianlah tanda-tanda kemunculan Sanghyang Tiga, sebab beliau telah pergi dari tubuh (mikrokosmos), berjalan bersama dengan Sanghyang Mantra pada kekuatan gaib. Dan lagi pujalah Sanghyang Komara dan Sanghyang Komara sidhi, Sanghyang Tan Hana Komara dituntun menuju Sanghyang Komara tunggal. Sabda suci beliau Sanghyang Tiga: Ang adalah Brahma, berjalan di lobang hidung bagian kanan. Ung adalah Wisnu, berjalan di lobang hidung sebelah kiri. Mang adalah Iswara, berjalan di ujung hidung bagian tengah, bersama-sama kesembilan dewa. Sabda sucinya adalah Oý Sa Ba Ta A I Na Ma Úi Wa Ya, tlas. Ada lagi kemunculan Bhatara Guru yang muncul dari makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (tubuh manusia) yang dinamakan hati putih. Hati maksudnya batinmu. Putih maksudnya lintas tembusnya. Jika ditunggalkan, maka menjadi ati putih, maksudnya tembus hingga ke lingkaran pandanganmu, beginilah sabda gaibnya: Oý Ung. Ini adalah ajian sangat rahasia, jangan sembrono. Ajian ini merupakan penjaga nyawa. Ini pula dinamakan rwabhineda (dualisme kekuatan) dalam diri, jika di alam semesta yang berada di bawah, di dalam diri menjadi pangkal hati merah. Rwabhineda di luar tubuh adalah tempat pembenaman hidup-mati, aksara sucinya adalah Ang Ah (ucapkan tiga kali). Itulah yang muncul ke pusat kedua mata. Jika kau tekun dalam beryoga, beliau akan berubah wujud menjadi air mata. Ingatlah ketika beliau masih berada di alam, itu sangat kotor. Dan lagi yang harus diingat ketika kau beryoga adalah pujalah dan tuntunlah Bhatara Guru, turunkan beliau dari pusat mata, arahkan dengan tepat perjalanan beliau menuju lekuk-lekuk hidung. Jika sudah seperti itu, adikku, pusatkan batinmu dan luruskan dengan penuh keyakinan. Jika telah tenang rasanya menunggal, itulah dinamakan sekumpulan pandangan dan merupakan titik temu batin. Jika sudah demikian, maka di sana kesembilan dewata turun, jalannya turun adalah melalui ujung pusat penglihatan, sabda sucinya A (diucapkan tiga kali), beliau akan turun. Itulah dinamakan sabda Sanghyang Amreta. Itulah air suci kehidupan tanpa kotoran. Ingatlah dengan baik segala perintah Sanghyang Amreta mantra, jika sedang berkelana, sebagai tempat para dewa bertemu rasa, dan bersenda gurau, demikian pula ketika mengucapkan mantera dan yoga sehingga Sanghyang Amreta muncul, secara tiba-tiba. Jika telah tampak jelas olehmu, cepatlah diambil, pasanglah sebagai bhasma di antara kedua alis. Jika tepat dan teguh olehmu melakukan, keampuhannya menjadi luar biasa, demikian pula kesucian kekuatannya, bagaikan keteguhan yang ampuh, sebab lagi berpulang kembali ke dalam tubuhmu, menyusup di tempatnya, jangan sembrono, jangan diobral, jika kau durhaka terhadap anugrahku ini, semoga kau mati, ditusuk orang gila, semoga kau dituduh penjahat oleh sesamamu. Adikku sang Klimosadha dan sang Klimosadhi, janganlah kalian lupa ingatlah, sangat besar bahayanya, sebab ini sangat rahasia, karena jarang orang paham tentang hakikat keluar-masuk ajian ini, memang banyak orang tahu ajaran seperti ini, hakikat yang nyata tak nyata, namun tidak ada orang yang tahu tentang keadaan yang sejati!” Lalu sang Klimosadhi bertanya: “Hamba memohon kembali penjelasan tentang hakikat dewa, mengapa Sanghyang Tiga dijadikan guru oleh Ki Bhuta Kala Dengen, dan para Pamala-Pamali, serta segala penyakit, bagaimana bisa demikian? Hal itulah mohon dijelaskan lagi!” Sang Budhakecapi menjawab: “Wahai adikku, beginilah asal-usulnya. Adapun awal mula adanya dukun, adanya obat, dan juga awal mula adanya penyakit, serta asal-usul penderitaan, beginilah sebab-musababnya. Ketika aku bertapa, dengan sangat tekun dan kokoh, aku bersemadi, ada yang memberikan anugrah kepadaku, yakni diberi wahyu oleh Hyang Nini Dalem, Hyang Nini yang dinamakan Bhatari Durga, dialah yang bersemayam di dalam diriku, beliau bersemayam di bagian dalam dari dalam tubuhku. Pelataran istana Bhatari Durga adalah di lekukan bibir atas, di bawah hidung, jika dipuja di bawah akan menimbulkan penyakit, jika diarahkan ke sela-sela alis dan dipertemukan dengan Bhatara Guru, beliau akan menjadi dukun. Ada lagi petuah Hyang Nini, adalah ajian sangat rahasia, berada di mikrokosmos (dalam tubuh manusia), dinamakan ajian Usadhasari, tentang dukun wanita yang berada di bawah pusar, meruwat jenis penyakit panas, dan ada pula dukun laki-laki, berada di tulang, bernama I Dukuh Sakti, menyembuhkan segala jenis penyakit dingin. Ada pula dukun segala jenis penyakit, ketahuilah ia berada di ubun-ubun, dapat menyembuhkan segala jenis penyakit, ia bernama Hyang Sangkul Putih, bisa mengobati segala penyakit, Hyang Tiga pada menjadi gurunya. Bhatara Brahma mengadakan semua penyakit, dijadikan guru oleh Bhuta Kala Dengen, Pamala-pamali, Ki Bhuta Setan, I Bhuta Jin, I Bhuta Licin, I Bhuta Kakawah, I Bhuta Sliwah, I Bhuta Ari-ari, I Bhuta Rudira, I Bhuta Emba-emba, mereka semua beryoga menciptakan berbagai penyakit, berkat yoga Bhatara Brahma sehingga muncul berbagai penyakit di dunia manusia. Lalu Bhatara Wisnu beryoga menciptakan obat, muncul dari Sanghyang Suksmadhana wisesa, dari ginjal, warnanya kuning, dan inilah sabda suci Wisnu: Ung Ung bata, sebagai junjungan Sanghyang Durada Angga, yang muncul dari penggantungan hati, gaib dan sangat sakti, warnanya jernih tanpa kotoran, sabda sucinya: Rang. Sanghyang Suksma dharma wisesa muncul dari dalam jantung, sabda sucinya: Oý, rupanya sangat indah, bagaikan lampu minyak tanpa asap, mereka sekalian ikut beryoga bersama Bhatara Wisnu, menciptakan segala obat. Ada lagi yang menjadi penyakit, beginilah asal-usulnya, dan pula yang dapat menawarnya. Jika sang Bhuta Dengen menimbulkan penyakit, Hyang Nini Siwagotra bertugas mengobati dan sembuh. Jika I Larung memasang guna-guna, Hyang Mpu Siwagandu berhak mengobati, pasti cepat sembuh. Jika I Lendia memasang guna-guna, Hyang Wisnu Panjaram menciptakan obatnya sehingga lekas sembuh. Jika I Jaran Guyang mengadakan penyakit, Hyang Jala Sangkara mengobati, lekas sembuh. Jika I Weksirsa memasang guna-guna, I Cambra Brag mengobati dan lekas sembuh. Jika I Lendi memasang guna-guna, Hyang Pangakan Beha menciptakan obat, lekas sembuh. Jika I Rangdeng Jirah memasang guna-guna, Hyang Mpu Pradah mengadakan obat, lekas sembuh. Segala jenis penyakit akibat guna-guna, Hyang Mpu Bawula mengadakan obat untuknya, lekas sembuh. Segala jenis guna-guna yang amat tajam dan ampuh, sebagai hasil yoga Bhatara Brahma, dengan murid-muridnya adalah Ki Bhuta Dengen, dan kesepuluh jenis kotoran yang ditimbulkannya dapat diruwat oleh ajian Bhatara Wisnu Japasari, namanya. Demikian adikku, jangan lalai, jangan lupa, ingatlah. Wahai adikku sang Klimosadha dan sang Klimosadhi, setelah aku memberi petuah kepadamu, kini aku bertanya kepada-mu. Kalian telah melakukan pengobatan sejak dulu kala, bagaimana tatacara dan aturanmu dalam menentukan besar-kecilnya uang persembahan? Bagaimana caramu menerima uang persembahan itu? Jelaskanlah hal itu dengan sebenarnya, agar aku mengetahui!” Dengan lembut sang Klimosadha dan sang Klimosadhi menjawab: “Baiklah Tuan, beginilah tatacara hamba sejak dulu. Setelah hamba selesai memberikan pengobatan, uang persembahan sebesar sepuluh ribu, hanya tujuh ribu hamba ambil. Jika uang persembahan itu sebesar tujuh ribu, hamba minta dua ribu saja. Jika uang persembahan itu sebesar seribu, hanya lima ratus hamba ambil. Demikianlah tatacara hamba dulu!” Sang Budhakecapi berkata: “Jika begitu, kau tidak dikutuk oleh Sang Puseh Daksina, dan oleh Bhagawan Resi Cintya, Nini Panyeneng, Sanghyang Pura Daksina, beliaulah yang mempunyai hak terhadap uang persembahan itu, segala hadiah, Sanghyang Daksina memilikinya, sebab beliau adalah dewanya. Oleh karena itu semua dukun sakti bisa hancur, perilakunya tidak menentu, terlunta-lunta menjadi fakir miskin, hal itu sangat berbahaya bagi dirimu juga, sekarang kalian menjadi dukun, janganlah berbuat demikian, sebab bahayanya bisa menimpa keturunan, tidak hemat dalam makan dan minum, boros sekali, sangat lalai, amat buruk, ketika ajalnya tiba akan menemukan kesengsaraan. Uang persembahan yang patut kau ambil semua adalah yang dipersembahkan oleh orang melahirkan, dan oleh orang keguguran. Persembahan semacam itu boleh kau ambil semuanya. Dan jika ada orang membayar kaul kepadamu, (uang persembahannya) patut dibagi tiga, setelah kau selesai menyaksikan (mempersembahkan) kepada Sanghyang Widhi. Yang dua bagian untukmu, dan yang sebagian lagi diberikan dengan iklas kepada yang diobati agar kau pantas diundang oleh si pasien. Jika kau memeriksa orang sakit, janganlah kau mendalih, jangan menuduh sembarangan, berbuatlah kau supaya dipercaya oleh pasien, kau tidak boleh sembarangan, Sanghyang Adnyana Sidhi patut dipuja, jangan suka mendengar sembarangan, mengapa demikian? Jika ada orang sakit disebabkan leluhur, lalu kau katakan oleh dewa, leluhur itu akan mengutukmu, sebab di kedewaan itu sepi (kosong), maaf, sebab tidak ada dewa yang menyakiti, kau lalu mengatakan dari dewa. Itulah sebabnya. Dan jika sakit itu disebabkan dewa, lalu kau katakan penyakit itu dari leluhur, leluhur dan dewa itu akan mengutukmu, karena kau menuduh-nya. Demikianlah adikku. Ada pula sebab dewa menyakiti manusia, karena ada kaul yang belum dibayarnya, sehingga menimbulkan bencana penyakit. Jalan keluarnya supaya lekas sembuh, harus dibayar. Oleh karena itu banyak dukun dikutuk karena salah sangka. Hal ini dinamakan kutukan Bhatara dan kutukan Dewa. Hal ini patut didengar dengan saksama. Akhirnya, si dukun mati karena salah ucap. Jika tidak demikian, kau akan dituduh jahat oleh sesamamu!” Lalu sang Klimosadhi dan sang Klimosadha berkata: “Sekarang jelaskan kepada hamba semua jenis penyakit agar hamba paham, segala jenis penyakit yang ditimbulkan oleh leluhur, yang ditimbulkan oleh Bhuta, serta tanda orang akan mati, dan hidup (sembuh), itulah jelaskan kepada hamba!” Sang Bhudakecapi menjawab: “Wahai sang Klimosadha dan sang Klimosadhi, sekarang aku menjelaskan kepadamu, dengarkanlah baik-baik, ingatlah dalam pikiranmu, jangan lupa, jangan lalai, beginilah hakikat penyakit itu. Orang yang akan mati dan yang akan sembuh, beginilah cara memeriksanya, yakni memeriksa dengan saksama tatapan mata si pasien, sebab di sanalah tampak bayangannya, yang panas maupun yang dingin, ataupun yang sedang, serta tanda-tandanya, awasilah dengan baik, jika tampak tenaganya memencar dalam sekejap di matanya, awasilah pula dalam anak-anakan kedua matanya. Jjika tampak kedua anak-anakan matanya bergerak, dan sinar matanya kadangkala terang kadangkala keruh, nah jika persis seperti itu, itu tanda orang akan mati, pada hari dia mulai terkena penyakit, lamanya dua belas hari, orang itu akan mati. Mengapa demikian? Sebab Sanghyang Komaragana, Sanghyang Komarakedep telah pergi. Itulah sebabnya ia mati. Janganlah kau melakukan pengobatan. Beginilah asal mula penyakit itu. Ada darah mati sedikit, berada di selaput pembungkus paru-paru, tetapi lepas tanpa ikatan. Lalu ada hawa panas dibungkus oleh air hamis, yang berada di dalam lobang jantung, dan lagi daging putih dicampuri oleh sang Nubatha, sehingga daging putih itu panas, karena dicampuri oleh panas membara, di situlah semua air mendidih, lalu darah mengering dan mati, kemudian menyusup ke seluruh daging di dalam tubuh, sehingga seluruh otot lemas, seluruh lemak mengering, men-didih, hingga ke dada, mengental di kerongkongan, itulah sebabnya penyakit itu melemaskan, membuat kepala pusing, sempoyongan, sehingga tubuh menjadi kurus, telah disusupi oleh hawa dingin, lalu menjadi gerah dan semutan, pegal-pegal, karena semua ditunggui oleh sang Banyu Budha, disertai oleh panas membara, tempat bercokolnya adalah di bawah kerongkongan, inilah sabda sucinya: Ih dwel, akweh (ucapkan 3 kali). Ada lagi, wahai adikku, cara menebak penyakit menahun, sebab sulit menebaknya, beginilah cara meramalnya. Kau makan sirih dulu, setelah hancur, janganlah membuang ludah merahmu, keluarkan sepah itu, dan diberi mantera. Setelah diberi mantera, suruhlah pasien makan sepah itu. Setelah makan, suruhlah ia mengeluarkan ludah merahnya, saat itu awasilah dengan saksama ludah yang keluar itu. Jika ludahnya keluar dengan baik, orang itu boleh ditolong. Jika ludah yang keluar itu kotor, itulah tanda orang itu akan mati, jangan melakukan pengobatan. Jika ada endapan kotor pada ludahnya, itu pertanda orang akan mati seketika, jangan melakukan pengobatan. Jika kau melanggar, kau akan terkena kutukan oleh Sanghyang Mantera Sidhi. Inilah mantera sepah: Oý sang dora kala, sang dora kali, inêbang babahan raûanña, sanghyang urip, sanghyang prêmaóa, sanghyang katimang, tan palawan, sun atakon pati uripe syanu, lah ta poma siràngurahana, poma (ucapkan tiga kali). Jika ada penyakit berbahaya, yang gejalanya ada keringat keluar deras dari telinganya, dan sedikit lengket. Itu pertanda Sanghyang Bayu telah pergi. Orang itu akan mati, tidak bisa ditolong. Ada lagi, jika ada pasien tampak ber-asap di ubun-ubunnya, itu dinamakan asap langit, jeda waktu hidup dan matinya adalah tujuh hari. Jika tidak mati dalam tempo tujuh hari, boleh diberikan pengobatan. Jika seperti itu penyakitnya, Bhatara Iswara menginginkannya supaya tetap hidup, Bhatara Siwa menaruh kasih sayang kepadanya, itulah sebabnya muncul asap langit (kukus ambara). Dan lagi jika ada penyakit berbahaya, segala jenis obat tidak ada yang mempan, dan penyakitnya telah lanjut, sehingga penyakitnya menjadi kronis, caranya adalah peganglah kedua telinganya, jika kedua telinganya terasa kaku, dan persis seperti itu, orang itu akan mati perlahan-lahan, sebab Sang Pramana dan Sanghyang Adnyana Sidhi telah pergi. Jika ada orang sakit, mukanya berlainan sebelah, dan mulutnya menganga, (tanda) Sanghyang Atma telah pergi. Orang itu akan mati, sebab Sanghyang Atma pergi melalui jiwa. Dan jika orang sakit menahun serta sangat kronis, tekanlah lambungnya, jika ia tidak merasa geli, (tanda) Sanghyang Bayu telah pergi. Orang itu akan mati, tidak bisa ditolong. Jika ada orang sakit berbahaya, peganglah dahinya, tepat di antara kedua alisnya, jika di sana ada bagian yang melorot, perhatikanlah pula jari-jarinya, jika lemas dan kaku di ujung-ujungnya, tidak sampai dua hari, orang itu akan mati, sebab Sanghyang Manon telah pergi, jangan melakukan pengobatan. Ada lagi jenis penyakit berbahaya, peganglah tangan dan kakinya, jika tenaganya lemas, peganglah pada tubuhnya, jika terasa panas gerah hingga ke kepalanya, kedua aliran nafas di hidungnya terasa panas, orang itu akan mati, sebab Sanghyang Bayu sebagai sumber tenaganya telah pergi, dan Sanghyang Manon telah pergi.