LONTAR BUDA KECAPI
Semoga tidak menemui rintangan. Mohon maaf kepada Dewa
Siwa. Apakah disebut awighna, apakah yang disebut nama siddham, sebaiknya kau
mengetahui makna awighnamastu. Jika kau paham, kau boleh menggunakan ilmu ini untuk
mengobati. Jika kau tidak paham makna awighnamastu, janganlah kau berani
melecehkan ilmu ini. Ilmu ini dinamakan Siwalingga, sabda Tuhan yang
dianugrahkan kepada para guru dunia. Om maksudnya sarira (badan), awi maksudnya
aksara (huruf), ghna artinya tempat bersemayam, mastu artinya kepala, nama
maksudnya anugrah, si maksudnya matahari; dham maksudnya bulan. Itulah yang
patut dipahami tentang tempat bersemayam Dewa. Kau tidak akan menemukan
bencana. Demikianlah sabda Dewa pada zaman dulu. Ini merupakan ilmu rahasia,
Usada Sari. Ketika diturunkan di Pura Dalem, ini adalah sabda Hyang Pramakawi.
"Begitu amat tergesa-gesa kalian berdua, cepatlah katakan sekarang, agar
aku tahu!" Demikian kata sang Budhakecapi kepada mereka berdua.
Selanjutnya, sang Klimosadha menjawab bersama sang Klimosadhi: "Kami
berasal dari Lemah Surat, kami sedesa. Kami ini bernama sang Klimosadha dan
sang Klimosadhi!" Lalu sang Budhakecapi berkata: "Baiklah, aku
bertanya kepada kalian berdua, aku mendengar berita tentang orang yang bernama
sang Klimosadha dan sang Klimosadhi, terkenal ahli dalam meramal dan mengobati,
konon demikian!" Mereka berdua segera menjawab: "Hamba memang begitu,
(tetapi) hamba berdua ingin berguru kepada Tuan, jika Tuan berbelas kasih
memberi anugrah kepada hamba berdua, hamba menyerahkan nyawa seumur hidup
kepada Tuan, tetapi maafkanlah. Apakah sebabnya (hamba ingin berguru)? Karena
Tuan yang bernama sang Budhakecapi, melakukan semadi, amat tekun dan teguh,
sepanjang umur, serta telah sempurna dalam batin, doa pujianmu sang Budhakecapi
menembus ke tujuh lapisan bumi, menembus ke angkasa". Selanjutnya, Bhatara
Siwa turun menuju Kahyangan Cungkub, bertemu dengan Hyang Nini di Pura Dalem.
Setelah beliau bertemu, beginilah sabda Bhatara Siwa: "Wahai sang Nini
Dalem, aku menitahkanmu sekarang, turun menuju kuburan tempat pembakaran
jenasah, kau Hyang Nini berhak memberkahi segala doa sang Budhakecapi, yang
sangat tekun bersemadi. Kau Hyang Nini berhak mengabulkan segala permintaannya,
segala kesempurnaan batin, sebab sang Budhakecapi sangat tekun bersemadi!"
Lalu Hyang Nini berkata kepada Bhatara Siwa: "Jika itu perintah Bhatara,
hamba menuruti titah Bhatara, sekarang hamba turun menuju kuburan tempat
pembakaran mayat!" Kemudian Bhatara Siwa melesat menuju alam Siwa. Kini
dikisahkan Hyang Nini Dalem datang ke kuburan tempat pembakaran mayat. Maksud
Hyang Nini adalah memberikan berkah kepada sang Budhakecapi, karena telah
direstui oleh Bhatara Siwa. Dengan cepat tiba di tempat sang Budhakecapi
melakukan semadi. Segera sang Budhakecapi menghormat. Lalu Bhatari Hyang Nini
berkata: "Wahai kau sang Budhakecapi, cukup lama kau berada di sini,
bermalam di tempat pembakaran mayat, apakah yang kau harapkan? Apakah yang kau
minta kepada Bhatara?" Lalu sang Budhakecapi menjawab: "Daulat Paduka
Hyang Nini, doa harapan hamba adalah hamba memohon belas kasih Bhatara agar
hamba paham hakikat makrokosmos dan mikrokosmos. Semoga Paduka Bhatari berkenan
menganugrahkan kekuatan batin yang sempurna supaya hamba tidak terkalahkan oleh
semua pesaing hamba, dan juga segala tatacara orang dalam memahami asal-usul
penyakit, supaya hamba memahami hakikat bisa, racun, dan penyakit tiwang moro,
ilmu desti teluh taranjana, serta hakikat pamala-pamali, dan segala ajian
ampuh, demikian pula hakikat hidup dan mati, serta hakikat kekuatan sabda,
itulah permintaan hamba kepadamu Bhatari Nini!" Kemudian Hyang Nini
berkata: "Wahai sang Budha- kecapi, sekarang aku akan memberimu anugrah,
baiklah, cepatlah julurkan lidahmu keluar, aku mau me-rajah1 lidahmu dengan
mantera Om nama siwaya. Satu persatu mulai dengan Om, na untuk hidungmu, ma
untuk mulutmu, si untuk matamu, wa untuk tubuhmu, ya untuk telingamu. Demikian
pula makna Sanghyang Omkara, seperti windu, nadha, ardhacandra yang berada
dalam tubuh, yang dinamakan asal mula Sanghyang Candra Raditya. Yang berada di
mata kanan adalah Sanghyang Raditya, yang berada di mata kiri adalah Sanghyang
Candra. Wahai sang Budhakecapi semoga kau paham tentang tatacara mencapai moksa
karena lidahmu telah dirasuki kekuatan tulisan gaib, yang merupakan anugrahku,
Hyang Nini Dalem, kepadamu! Inilah yang dinamakan tempat Sanghyang Omkara
Sumungsang yakni di pangkal lidah, batu manikam, tempat pertemuan Sanghyang
Saraswati, di lidah. Ini merupakan pemberi kekuatan gaib kepada batin, sangat
utama, jangan sembrono, kau tidak akan berhasil (jika sembarangan). Inilah
mantera kumpulan sumber kekuatan: "Om lep rem, ngagwa rem, papare,
dewataning bayu pramana". Inilah menjadi persemayaman Sanghyang Saraswati,
sebagai tulisan ajaib di lidah sang Budhakecapi, dan inilah doa untuk tempat
aksaranya, yakni Om Sanghyang Kedep di pangkal lidahmu, Sanghyang Mandiswara di
ujung lidahmu, Sanghyang Mandimanik di tengah lidahmu, Sanghyang Nagaresi di
dalam otot lidahmu, Sanghyang Manikastagina di kulit lidahmu, dewanya adalah
Bhatara Siwa, sebagai pemberi kekuatan hidup adalah Hyang Brahma Wisnu Iswara,
sorganya adalah di hati, di empedu, di jantung, inilah persebaran tempat beliau
Sanghyang Tiga, yakni Ang di hati, Ung di empedu, Mang di jantung. Inilah ajian
Sanghyang Triaksara yang patut diingat, manteranya Om Ang Mang. Ajian ini
sangat utama, jangan sembrono, memusatkan kekuatan batin, semoga kau sang
Budhakecapi dapat memahami ajian Nitiaksara Sari, serta hakikat arti Sanghyang
Pancaksara yang berada di alam, yang mana tempatnya, yang mana pula lambang
aksara sucinya, inilah yang harus kau ingat wahai sang Budhakecapi, semoga kau
paham, tinggalah kau di sini, aku akan pulang kembali menuju Kahyangan
Cungkub!" Lalu segera sang Budhakecapi menghormat kepada Hyang Bhatari
Nini, dengan mantera: "Om niratma ditempatkan di leher, atyatma di antara
kedua alis, niskalatma di pusat telapak tangan, sunyatma di pusat kepala, alam
dewata yang kokoh". Setelah Hyang Nini terbang melesat, menuju Kanghyangan
Cungkub. Ceritanya dihentikan sebentar. Cerita berganti, dikisahkan sang
Budhakecapi, sangat terkenal ke seluruh masyarakat, sangat kuat dan sempurna,
pandai dan ampuh dalam berucap, segala ragam bahasa, mahir dalam doa pemujaan,
bertempat tinggal di kuburan, sangat tekun, demikianlah kisah sang Budhakecapi
dihentikan dulu. Kini cerita berganti, adalah dua dukun laki-laki, bernama sang
Klimosadha dan sang Klimosadhi, tinggal di satu desa, yakni Lemah Tulis. Mereka
sangat terkenal sakti, mahir mengobati, dan tidak pernah terkalahkan oleh
segala jenis penyakit, dan sang Klimosadi tidak pernah terkalahkan oleh bisa
dan obat racun, tetapi ada kekurangannya, ia tidak tahu mendeteksi (meramal)
penyakit, hanya berpegang teguh pada keyakinan dan memaksakan, mencari orang sakit
dan yang menyakiti, hanya sebegitu saja kepandaiannya. Dihentikan dulu kisah
sang Klimosadha. Kini diceritakan ada orang sakit bernama Sri Hastaka. Ia
sangat menderita kesusahan, maksudnya hanya mencari sang Klimosadha. Kemudian
ia datang ke rumah sang Klimosadha. Baru saja ia tiba di rumah sang Klimosadha,
dengan cepat sang Klimosadha menyapa: "Wahai, Tuan dari mana? Apa maksud
kedatanganmu ke mari?" Si pencari dukun menyahut: "Hamba mengundang
Tuan, maksud hamba menemui Tuan adalah hamba memohon keselamatan, semoga Tuan
berbelas kasihan kepada hamba, semoga Tuan berkenan datang ke rumah hamba,
untuk memeriksa kakak hamba, yang menderita penyakit!" Sang Klimosadha
berkata: "Aku menuruti permintaanmu!" Tidak diceritakan (panjang
lebar), ia telah tiba di rumah si pasien. Sang Klimosadha tanpa sepatah katapun
memperhatikan dengan saksama si pasien, serta memegang tubuh bagian bawah dan
bagian atas si pasien, segala kondisi si pasien juga diperhatikan dengan
saksama. Setelah itu, lalu sang Klimosadha duduk. Kini si pencari dukun tadi
bertanya: "Baiklah, hamba berkaul kepadamu, jika nyawa kakakku bisa
diselamatkan, hamba tidak takut memberi upah dan hadiah yang sepantasnya. Jika
ia akan mati, dimanakah kesulitan mendeteksinya?" Sang Klimosadha menjawab:
"Menurutku, jika aku memegangnya, orang ini tidak akan mati, janganlah kau
sedih, tenangkanlah hatimu, carilah ramuan obat minum dan ramuan bedak serta
ramuan untuk obat semburan!" Orang yang disuruh mencari ramuan segera
berangkat. "Dulu, aku sering menyembuhkan penyakit semacam ini, tidak
pernah sampai dua kali aku memberikan-nya obat, hanya sekali saja sudah sembuh,
sangat mudah aku menangani penyakit seperti ini!" Orang yang disuruh
mencari bahan obat segera datang, serta dengan cepat pula telah matang. Lalu
sang Klimosadha segera meracik obat. Setelah memberi obat minum, bedak, dan
obat semburan, sang Klimosadha duduk. Jika bisa sembuh, tentu banyak orang akan
merasa ikut berbahagia. Tiba-tiba saja sang Klimosadha lupa memeriksa nyawa si
pasien, sehingga si pasien pun mati. Sang Klimosadha sangat malu. Semua orang
yang berada di sana berwajah curiga, sebab baru saja diberi obat minum, bedak,
dan obat semburan, si pasien kemudian mati, dan juga sang Klimosadha telah
mengatakan bahwa si pasien tidak akan mati, namun kini mati. Sang Klimosadha
sangat malu dalam hatinya, akhirnya ia pergi tanpa pamit menuju rumahnya.
Setelah tiba di rumahnya, ia tidak enak makan dan minum, siang malam, sang
Klimosadha sangat malu. Cerita sang Klimosadha dihentikan sejenak. Kini dikisahkan
sang Klimosadhi, termashur dalam mengobati pasien yang terserang bisa dan
racun. Diceritakan seorang wanita bernama Sridhani, yang sudah berusia cukup
tua, tertimpa penyakit kronis, sangat sukar menangani penyakitnya. Si pencari
dukun datang ke rumah sang Klimosadhi. "Wahai Ibu, darimana asalmu? Apa
maksud kedatanganmu ke mari?" Si pencari dukun itu menjawab: "Hamba
minta tolong, hamba menangani orang sakit. Jika Tuan berbelas kasih kepadaku,
sudilah Tuan datang ke rumahku, agar Tuan mengetahui si pasien!" Sang
Klimosadhi menjawab: "Jika begitu, aku menurutimu!" Setelah datang di
rumah si pasien, lalu sang Klimosadha memeriksa si pasien, dipegangnya bagian
bawah dan bagian atas tubuh si pasien. Setelah itu, lalu sang Klimosadhi berkata:
"Ini orang sakit terserang racun, ia terkena racun yang diracik orang.
Sekali saja, sangat gampang menyembuhkan penyakit ini. Aku sering menyembuhkan
penyakit seperti ini. Tidak usah dua kali, cukup sekali saja sudah sembuh,
sangat mudah menolong orang sakit semacam ini!" Orang yang punya pasien
bergegas membuat sesajen hadiah. Lalu sang Klimosadhi merapalkan mantera untuk
membuat obat, bedak, dan obat semburan. Setelah itu, lalu sang Klimosadhi
mengunyah daun sirih, dan memberikan sepahnya kepada si pasien, serta menyandangnya.
Setelah itu, tiba-tiba si pasien pusing, tidak sadarkan diri hingga malam hari,
dan dadanya sesak, kerongkongannya seperti tersumbat!" Si pencari dukun
berkata: "Mengapa bisa begini? Lalu apa yang dapat dilakukan, apakah
obatnya perlu diganti? Hamba minta tolong dengan sangat agar ipar hamba ini
bisa sembuh. Hamba tidak takut kepada upah, maupun hadiah!" Lalu sang
Klimosadhi mengganti obat. Setelah obat itu diminum, tetap saja si pasien
pusing tidak sadarkan diri, tidak bisa makan, lalu akut. Kemudian dengan cepat
sang Klimosadhi mengeluarkan mantera, melalui ubun-ubun, telinga, hingga sang
Klimosadhi kehabisan akal, memusatkan batin bersemadi bertumpu satu kaki. Si
pasien semakin tidak sadarkan diri. Lalu sang Klimosadhi berkata: "Ah, jika
demikian keadaan si pasien, aku yang salah memberi obat!" Tiba-tiba sang
Klimosadhi pergi, ia sangat merasa malu, bertolak pulang. Setelah tiba di
rumahnya, muncul niat sang Klimosadhi, bermaksud berguru kepada sang
Klimosadha. Segera sang Klimosadhi pergi ke rumah sang Klimosadha. Begitu ia
tiba, sang Klimosadha menyapanya: "Wahai adikku, sang Klimosadhi, selamat
datang di rumahku, apakah maksud kedatanganmu, adikku?" Sang Klimosadhi
menjawab: "Aku bermaksud berguru kepadamu, kakak!" Sang Klimosadha
berkata: "Mengapa kau ingin berguru kepadaku? Jika begitu, adikku, kau
tidak akan mendapat apa-apa. Kakak juga tidak ingin mengangkat murid. Apa
sebabnya, katakanlah, wahai adikku!" Sang Klimosa-dhi menjawab:
"Beginilah asal mulanya. Aku mengobati seorang wanita, yang bernama
Sridhani. Ia terserang penyakit kronis. Di situlah aku kalah, aku sangat malu,
itulah sebabnya aku hendak berguru kepada kakak!" "Jika begitu, kau
sia-sia saja, kakak juga ingin berguru, sebabnya adalah kakak mengobati orang
sakit bernama Sri Hastaka, seorang lelaki, di situ kakak kalah!" Sang
Klimosadhi berkata: "Jika begitu, marilah kita melakukan semadi, aku
menurutimu, jika kakak mendapat wahyu, aku minta tolong kepadamu, jika aku
mendapat wahyu, aku akan menolongmu, demikianlah maksudku!" Lalu sang
Klimosadha berkata: "Jika begitu, sulit rasanya, adikku. Jika kau setuju
denganku, marilah bersama-sama denganku, aku ingin berguru kepada sang
Budhakecapi, sebab sang Budhakecapi mendapat anugrah dari Hyang Nini!"
Sang Klimosadhi menyahut: "Jika begitu, baiklah, aku setuju denganmu,
kakak!" Akhirnya, segera mereka berangkat menuju kuburan tempat pembakaran
mayat. Setelah tiba di tempat sang Budhakecapi, lalu mereka berdua disapa oleh
sang Budhakecapi: "Wahai Tuan berdua, apa maksud Tuan datang ke mari,
begitu tergesa-gesa, berdua, silakan katakan agar aku mengetahui!" Sang
Klimosadha dan sang Klimosadhi menjawab: "Hamba ini berasal dari Lemah
Tulis, hamba sedesa, demi-kianlah Tuan, hamba berdua bernama sang Klimosadha
mwang sang Klimosadhi!" Lalu sang Budhakecapi berkata: "Baiklah, aku
ingin bertanya kepada kalian berdua, aku mendengar berita orang yang bernama
sang Klimosadha dan sang Klimosadhi, terkenal mahir dalam pengobatan, begitulah
konon!" Segera mereka berdua menjawab: "Hamba memang begitu, (namun)
hamba ingin berguru kepada Tuan, jika Tuan berkenan kepada hamba berdua, hamba
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuan, disertai dengan permohonan maaf
hamba!" "Wahai, adikku berdua, agar aku dapat mengetahuimu, apa
sebabnya kau ingin berguru kepadaku? Katakanlah dengan sejujurnya kepadaku agar
aku paham!" Sang Klimosadha menjawab: "Sebabnya hamba berniat keras
berguru karena hamba pernah mengobati dan hamba dikalahkan oleh suatu penyakit,
hamba berdua sangat merasa malu ketika hamba dikalahkan. Setelah hamba memberi
obat, bedak, dan obat semburan, tiba-tiba si pasien meninggal seketika, itulah
sebabnya hamba sangat malu!” Sang Budhakecapi berkata sambil tertawa
terkekeh-kekeh: “Wahai sang Klimosadha dan sang Klimosadhi, jika begitu, kau
telah terkena kutukan ajian Sanghyang Mantra Sidhi, dan Sanghyang Batur
Kamulan, serta Sanghyang Kami Tuwuh, karena beliau berwujud Sanghyang Atma dan
Sanghyang Bayu Pramana, itulah yang mengutukmu, karena orang itu sudah saatnya
harus mati, lalu kau mengobatinya. Kare-na kau menunda kematiannya, kau salah
menanganinya, jangan kau begitu lagi. Dan lagi, adikku, jika ada orang
mengundangmu, dengan memberikan obat dua, tiga, empat, lima kali kau membuat
obat untuk satu orang, penyakit orang itu juga tidak berkurang, lalu kau salah
memberi obat, jangan begitu, jika seperti itu, itu bukan dukun namanya, itu
namanya dukun demi uang dan beras. Itu sangat dikutuk oleh dewa yang dipuja!”
Sang Klimosadha dan sang Klimosadhi berkata: “Baiklah, jika demikian, hamba
akan menyerahkan diri, sekehendak Tuan memerintah hamba, dan lagi hamba memohon
belas kasih, agar hamba pandai sama seperti Tuan!” Segera sang Budhakecapi
menjawab: “Wahai sang Klimosadha dan sang Klimosadhi, kau benar-benar ingin
melakukan aguru waktra kepadaku?” Lalu sang Klimosadha berkata: “Oh, seperti
apakah yang dimaksud aguru waktra? Hamba belum paham!” Sang Budhakecapi
berkata: “Beginilah, yang dimaksud aguru waktra. Kuatkanlah batinmu dalam
mendalami segala ajian utama, serta hakikat ajian Taru Geseng, dan juga keutamaan
aksara suci, itulah didalami dengan saksama, diberikan kepada murid-murid,
demikianlah perihal orang menjalani aguru waktra. Kau tidak lagi dikutuk oleh
guru. Jika gurumu menemui kesulitan disebabkan oleh orang jahat, seorang murid
pantas mempertaruh-kan nyawa, hingga ke anak-cucunya. Jika kau teguh
menjalankan ajaran aguru waktra, kelak jika kalian pada mati, arwahmu akan
menjelma bersama, sehingga ada istilah orang lahir kembar, atau buncing,
demikian asal-usulnya, sama-sama menemui kebaikan dan keburukan!” Dengan senang
hati mereka berdua berkata: “Jika demikian perihal berguru, hamba senang seumur
hidup, namun jika berkenan, hamba sekalian menyerahkan nyawa!” Demikian
perkataan mereka berdua. “Hamba berdua ikut seperti itu!” Sang Budhakecapi berkata:
“Jika begitu, aku buatkan upacara aguru waktra untuk kalian berdua, semoga kau
berhasil! Wahai Sang Klimosadha dan sang Klimosadhi, kini aku memberikan ajaran
kepadamu supaya kalian paham, tetapi dengarkanlah dengan baik segala petuahku,
yang aku anugrahkan kepadamu. Jika kau mengobati orang, janganlah kalian lemah,
jangan tidak memeriksa keadaan tubuh si pasien, dan harus tetap waspada
terhadap sinar mata si pasien, supaya jelas menyatu, sebab di sanalah tampak
bayangannya, di sana tampak Brahma Wisnu Mahiswara, penyakit panas, dingin,
hangat, atau gejala hidup dan mati, di sanalah diperhatikan bayangannya. Jika
kau telah memahaminya, kau tidak bisa dikalahkan dalam pengobatan. Jika tampak
tanda-tanda ajal tiba, janganlah kau melakukan pengobatan. Jika kau merasa
kasihan kepada pasien itu, dan jika kau memberinya obat, janganlah disertai
rapalan mantera. Jika tidak demikian, kau akan dikutuk oleh Sanghyang Mantra,
sebab ajal si pasien memang sudah tiba saatnya dan kau tetap melakukan
pengobatan. Sang Klimosadha dan sang Klimosadhi berkata: “Baiklah, bagaimana
tanda-tanda orang akan mati atau yang akan hidup. Hal itu hamba belum
mengetahui. Dan lagi, apakah yang dapat menimbulkan penyakit, ataupun yang
dapat membasmi segala penyakit? Demikian pula mengapa ada penyakit panas dan
hangat itu, beritahulah hamba dengan sebenarnya agar hamba paham!” Sang
Buddha-kecapi menjawab: “Beginilah asal-usul penyakit itu. Asal mula adanya
penyakit panas membara itu adalah bersumber pada makrokosmos dan mikrokosmos,
Sanghyang Tiga sumbernya, yaitu Brahma, Wisnu, Iswara namanya. Beliau bisa
menjadi dukun dan juga bisa menjadi penyakit. Yang lebih besar akan menjadi
sumber penyakit dan yang lebih kecil akan menjadi sasaran penyakit. Sanghyang
Tiga berwujud baik dan buruk berada di dunia. Adapun tempat suci beliau adalah
timur, selatan, utara. Jika di dalam mikrokosmos (tubuh manusia), Bhatara
Iswara berada di jantung, dengan sabda Mang, sebagai dasar suara manis,
warnanya putih, belia menimbulkan Sanghyang Sandisakti wisesa. Bhatara Brahma
berada di hati, sabdanya Ang, beliau menciptakan makanan abadi yang menajamkan
kekuatan, warnanya merah. Bhatara Wisnu di empedu, sabdanya Ung, rupanya hitam.
Beliau menjadi sumber kekuatan nafas, inilah yang harus diingat, ia menimbulkan
penyakit, ia pula menjadi dukun, beliaulah yang berwujud demikian sehingga
penyakit itu ada tiga macam, begitu pula penawarnya ada tidak jenis, beliau
merupakan guru para dukun dan semua pendeta, sebagai guru para Bhuta Kala
Dengen, Pamala-pamali, tumbal, tuju, tiwang moro, desti, teluh, taranjana, roh,
dewa. Beliau silih berganti menjadi guru. Oleh karena itu, adalah Sanghyang
Kawiswara Japa, dengan kekuatannya bernama Sanghyang Mancongol, ketika
diberikan anugrah kekuatan untuk pengobatan ketiga dunia. Sebagai teman beliau
adalah Sri Bhagawan Resi Kunda, dikenal di seluruh masyarakat. Sebagai pemberi
kekuatannya adalah Sanghyang Prajapati dari alam Maya, Bhatara Siwayogi yang
berada di Catur Winasakrama, Bhagawan Mrecukunda Wijaya, Bhagawan Mredu,
Bhagawan Wrehaspati, Bhagawan Mrecukunda, Bhagawan Kasyapa, Bhagawan Mpu
Siwagandu, Bhagawan Mpu Pradah. Beliau sekalian berada dalam Wariga, memasang
bhasma (sebagai tanda sekte) dan berperilaku suci, tempat persemayaman beliau
ada di seluruh persandian, di sanalah beliau beryoga, menimbulkan penyakit.
Karena itu, dalam pengobatan ada banyak obat, sebagai perwujudannya dalam
mikrokosmos dan makrokosmos, sehingga banyak perwujudannya, asal mulanya obat
hanya tiga, sumber penyakit juga ada tiga, tetapi setelah berubah wujud menjadi
banyak. Adalah tiga perwujudan mulia namanya, itupun Sanghyang Tiga juga,
pertemuannya mulia, utama di dalam diri, itulah patut dipuja dalam
kemanunggalan. Jika telah menunggal berkat wahyu Sanghyang Mancongol, itulah
penampakan doa pemujaan, segala yang mulia, jika kau paham menunggalkannya, kau
akan tahu asal-usul penyakit, kau akan paham asal-usul obat, kau akan tahu
asal-usul adanya dukun, asal-usul adanya penyakit, dan hakikat aksara suci,
serta hakikat asal-usul bahasa, sepuluh jenis sinonimi, dan hakikat bahasa
pluta. Ada lagi yang dimaksud panugrahan gring, tiada lain adalah Bhagawan
Mrecukunda memohon anugrah kepada Bhatara Wisnu, dengan murid-muridnya adalah
Kala Bhuta Dengen, maka timbulah jenis penyakit dingin menahun. Bhatara Brahma
menjadi obat penawarnya untuk menyembuhkan. Bhagawan Mpu Siwagandu diberikan
penyakit, dianugrahi oleh Bhatara Brahma, dengan murid adalah Ki Larung, maka
timbullan penyakit panas menahun. Bhatara Wisnu sebagai obat penawarnya
sehingga cepat sembuh. Jika Bhagawan Kasyapa membuat penyakit, dianugrahi oleh
Bhatara Iswara, sebagai muridnya adalah Ki Bhuta Branjeng di Swamana, maka
timbullah penyakit panas dalam. Sanghyang Tiga sebagai obat penawar untuk
penyakit panas, dingin, sedang. Adapun jenis obat itu adalah panas, dingin,
sedang. Begitu pula nama obat dan jenis penyakit itu. Asal mula obat dan
penyakit itu satu, obat bisa menjadi bibit penyakit, bibit penyakit bisa
menjadi obat, yakni api, air, angin. Itulah dinamakan Sanghyang Tiga, silih
berganti jiwa, sangat ampuh keberadaannya, sehingga timbul tiga jenis penyakit
yaitu panas, dingin, sedang. Demikian pula jenis obat penawarnya ada yang
panas, dingin, sedang. Begitulah sebutan obat dan penyakit itu. Mengapa juga
disebut laki, perempuan, dan banci? Asal mulanya seperti ini. Penyakit panas
adalah laki-laki. Penyakit dingin adalah perempuan. Penyakit sedang adalah
banci. Penyakit panas merupakan sihiran Bhatara Brahma. Penyakit dingin
merupakan sihiran Bhatara Wisnu. Penyakit sedang merupakan sihiran Bhatara
Iswara. Demikianlah adikku, ingatlah dengan baik nasihatku ini!” Sang
Klimosadha dan sang Klimosadhi berkata lagi: “Hamba memohon belas kasih Tuanku
lagi, beri tahulah hamba, apa yang dapat dipakai penawar untuk perwujudan
Sanghyang Tiga!” Sang Budhakecapi menjawab: “Beginilah hakikatnya, adikku. Yang
disebut dukun itu adalah satu yakni Sanghyang Tigaswari. Beliau adalah Bhatara
Siwa, Sadhasiwa, dan Paramasiwa. Sanghyang Siwa memberi anugrah kepada Bhatara
Iswara. Sanghyang Sadhasiwa memberi anugrah kepada Bhatara Wisnu. Sanghyang
Paramasiwa memberi anugrah kepada Bhatara Brahma. Semua diberikan anugrah untuk
menimbulkan penyakit di keempat dunia dan juga mengadakan obat, segala jenis
obat. Penyebab timbulnya jenis penyakit panas, dingin, sedang karena Bhatara
Brahma bersemayam di aksara sanga (sembilan aksara suci di dalam tubuh
manusia), Bhatara Wisnu bersemay
am di celah Sanghyang Omkara Mula, Bhatara Iswara
bersemayam di lepitan Genta Pinara Pitu. Ketiga wujud Sanghyang Tiga dipuja
oleh Bhatara Siwa, (Sadasiwa), Paramasiwa, sama-sama bersemayam di alam
makrokosmos dan mikrokosmos. Inilah tempat per-semayamannya, yang dinamakan
Sanghyang Aksara Sanga, yakni Oý, Sang, Bang, Ing, Nang, Mang, Úing, Wang,
Yang. Sanghyang Omkara Mula terdiri atas Ang Ung Mang. Ung adalah pinggala *,
Mang adalah sumsum belakang, di bagian tengah dada. Ang adalah pusar bagian
kanan. Inilah istana bagi Brahma
Pinggala * Pembuluh khusus dalam tubuh (tiga pipa
pembuluh di sebelah kanan) yang menurut filsafat Yoga adalah bagian utama dari
nafas dan udara.
Wisnu, Iswara. Hyang Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa,
tempat persemayaman beliau adalah di lepitan Genta Pinara Pitu, yang terdiri
atas Ang Oý bhùwebrörà; ngêp-ngêp. Begitulah tempat persemayaman beliau,
adikku, yang harus kau ketahui. Itu harus diupacarai setiap hari sehingga
bersih dalam menjalankan ibadat puasa, itu sangat utama, baik siang maupun
malam hari, selama hidup, beliau merupakan kekuatan gaib yang sangat ampuh,
abadi dalam alam semesta. Bhatara Brahma berwujud makanan, Bhatara Wisnu
berwujud sumber nafas, Bhatara Iswara merupakan jiwa ketiga dunia. Jika kau
memberi kekuatan gaib pada obat, Sanghyang Tiga itu harus dipuja dengan penuh
keyakinan, tunggalkan menjadi satu. Caranya menunggalkan adalah satukan nafas
yang keluar, pusatkan pikiran padanya, jika kau telah yakin, jangan goyah,
jangan mendengar suara apapun, setelah itu, keluarkan Sanghyang Mantra. Jika
Sanghyang Tiga keluar, rasakanlah. Cara mengeluarkan beliau dan tatacara
menunggalkannya adalah Dewa di ujung kekosongan, dipertemukan di ujung
penglihatan, kemudian ditunggalkan lagi di ujung hidung. Setelah itu, Sanghyang
Tiga akan muncul. Tanda-tanda kemunculannya adalah ada kedutan di pangkal
hidungmu, dan pandanganmu menjadi kabur, seluruh tubuh terasa lemah tanpa tenaga,
demikianlah tanda-tanda kemunculan Sanghyang Tiga, sebab beliau telah pergi
dari tubuh (mikrokosmos), berjalan bersama dengan Sanghyang Mantra pada
kekuatan gaib. Dan lagi pujalah Sanghyang Komara dan Sanghyang Komara sidhi,
Sanghyang Tan Hana Komara dituntun menuju Sanghyang Komara tunggal. Sabda suci
beliau Sanghyang Tiga: Ang adalah Brahma, berjalan di lobang hidung bagian
kanan. Ung adalah Wisnu, berjalan di lobang hidung sebelah kiri. Mang adalah
Iswara, berjalan di ujung hidung bagian tengah, bersama-sama kesembilan dewa.
Sabda sucinya adalah Oý Sa Ba Ta A I Na Ma Úi Wa Ya, tlas. Ada lagi kemunculan
Bhatara Guru yang muncul dari makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (tubuh
manusia) yang dinamakan hati putih. Hati maksudnya batinmu. Putih maksudnya
lintas tembusnya. Jika ditunggalkan, maka menjadi ati putih, maksudnya tembus
hingga ke lingkaran pandanganmu, beginilah sabda gaibnya: Oý Ung. Ini adalah
ajian sangat rahasia, jangan sembrono. Ajian ini merupakan penjaga nyawa. Ini
pula dinamakan rwabhineda (dualisme kekuatan) dalam diri, jika di alam semesta
yang berada di bawah, di dalam diri menjadi pangkal hati merah. Rwabhineda di
luar tubuh adalah tempat pembenaman hidup-mati, aksara sucinya adalah Ang Ah
(ucapkan tiga kali). Itulah yang muncul ke pusat kedua mata. Jika kau tekun
dalam beryoga, beliau akan berubah wujud menjadi air mata. Ingatlah ketika
beliau masih berada di alam, itu sangat kotor. Dan lagi yang harus diingat
ketika kau beryoga adalah pujalah dan tuntunlah Bhatara Guru, turunkan beliau
dari pusat mata, arahkan dengan tepat perjalanan beliau menuju lekuk-lekuk
hidung. Jika sudah seperti itu, adikku, pusatkan batinmu dan luruskan dengan
penuh keyakinan. Jika telah tenang rasanya menunggal, itulah dinamakan
sekumpulan pandangan dan merupakan titik temu batin. Jika sudah demikian, maka
di sana kesembilan dewata turun, jalannya turun adalah melalui ujung pusat
penglihatan, sabda sucinya A (diucapkan tiga kali), beliau akan turun. Itulah
dinamakan sabda Sanghyang Amreta. Itulah air suci kehidupan tanpa kotoran.
Ingatlah dengan baik segala perintah Sanghyang Amreta mantra, jika sedang
berkelana, sebagai tempat para dewa bertemu rasa, dan bersenda gurau, demikian
pula ketika mengucapkan mantera dan yoga sehingga Sanghyang Amreta muncul, secara
tiba-tiba. Jika telah tampak jelas olehmu, cepatlah diambil, pasanglah sebagai
bhasma di antara kedua alis. Jika tepat dan teguh olehmu melakukan,
keampuhannya menjadi luar biasa, demikian pula kesucian kekuatannya, bagaikan
keteguhan yang ampuh, sebab lagi berpulang kembali ke dalam tubuhmu, menyusup
di tempatnya, jangan sembrono, jangan diobral, jika kau durhaka terhadap
anugrahku ini, semoga kau mati, ditusuk orang gila, semoga kau dituduh penjahat
oleh sesamamu. Adikku sang Klimosadha dan sang Klimosadhi, janganlah kalian
lupa ingatlah, sangat besar bahayanya, sebab ini sangat rahasia, karena jarang
orang paham tentang hakikat keluar-masuk ajian ini, memang banyak orang tahu
ajaran seperti ini, hakikat yang nyata tak nyata, namun tidak ada orang yang
tahu tentang keadaan yang sejati!” Lalu sang Klimosadhi bertanya: “Hamba
memohon kembali penjelasan tentang hakikat dewa, mengapa Sanghyang Tiga
dijadikan guru oleh Ki Bhuta Kala Dengen, dan para Pamala-Pamali, serta segala
penyakit, bagaimana bisa demikian? Hal itulah mohon dijelaskan lagi!” Sang
Budhakecapi menjawab: “Wahai adikku, beginilah asal-usulnya. Adapun awal mula
adanya dukun, adanya obat, dan juga awal mula adanya penyakit, serta asal-usul
penderitaan, beginilah sebab-musababnya. Ketika aku bertapa, dengan sangat
tekun dan kokoh, aku bersemadi, ada yang memberikan anugrah kepadaku, yakni
diberi wahyu oleh Hyang Nini Dalem, Hyang Nini yang dinamakan Bhatari Durga,
dialah yang bersemayam di dalam diriku, beliau bersemayam di bagian dalam dari
dalam tubuhku. Pelataran istana Bhatari Durga adalah di lekukan bibir atas, di
bawah hidung, jika dipuja di bawah akan menimbulkan penyakit, jika diarahkan ke
sela-sela alis dan dipertemukan dengan Bhatara Guru, beliau akan menjadi dukun.
Ada lagi petuah Hyang Nini, adalah ajian sangat rahasia, berada di mikrokosmos
(dalam tubuh manusia), dinamakan ajian Usadhasari, tentang dukun wanita yang
berada di bawah pusar, meruwat jenis penyakit panas, dan ada pula dukun
laki-laki, berada di tulang, bernama I Dukuh Sakti, menyembuhkan segala jenis
penyakit dingin. Ada pula dukun segala jenis penyakit, ketahuilah ia berada di
ubun-ubun, dapat menyembuhkan segala jenis penyakit, ia bernama Hyang Sangkul
Putih, bisa mengobati segala penyakit, Hyang Tiga pada menjadi gurunya. Bhatara
Brahma mengadakan semua penyakit, dijadikan guru oleh Bhuta Kala Dengen,
Pamala-pamali, Ki Bhuta Setan, I Bhuta Jin, I Bhuta Licin, I Bhuta Kakawah, I
Bhuta Sliwah, I Bhuta Ari-ari, I Bhuta Rudira, I Bhuta Emba-emba, mereka semua
beryoga menciptakan berbagai penyakit, berkat yoga Bhatara Brahma sehingga
muncul berbagai penyakit di dunia manusia. Lalu Bhatara Wisnu beryoga
menciptakan obat, muncul dari Sanghyang Suksmadhana wisesa, dari ginjal,
warnanya kuning, dan inilah sabda suci Wisnu: Ung Ung bata, sebagai junjungan
Sanghyang Durada Angga, yang muncul dari penggantungan hati, gaib dan sangat
sakti, warnanya jernih tanpa kotoran, sabda sucinya: Rang. Sanghyang Suksma
dharma wisesa muncul dari dalam jantung, sabda sucinya: Oý, rupanya sangat indah,
bagaikan lampu minyak tanpa asap, mereka sekalian ikut beryoga bersama Bhatara
Wisnu, menciptakan segala obat. Ada lagi yang menjadi penyakit, beginilah
asal-usulnya, dan pula yang dapat menawarnya. Jika sang Bhuta Dengen
menimbulkan penyakit, Hyang Nini Siwagotra bertugas mengobati dan sembuh. Jika
I Larung memasang guna-guna, Hyang Mpu Siwagandu berhak mengobati, pasti cepat
sembuh. Jika I Lendia memasang guna-guna, Hyang Wisnu Panjaram menciptakan
obatnya sehingga lekas sembuh. Jika I Jaran Guyang mengadakan penyakit, Hyang
Jala Sangkara mengobati, lekas sembuh. Jika I Weksirsa memasang guna-guna, I
Cambra Brag mengobati dan lekas sembuh. Jika I Lendi memasang guna-guna, Hyang
Pangakan Beha menciptakan obat, lekas sembuh. Jika I Rangdeng Jirah memasang
guna-guna, Hyang Mpu Pradah mengadakan obat, lekas sembuh. Segala jenis
penyakit akibat guna-guna, Hyang Mpu Bawula mengadakan obat untuknya, lekas
sembuh. Segala jenis guna-guna yang amat tajam dan ampuh, sebagai hasil yoga
Bhatara Brahma, dengan murid-muridnya adalah Ki Bhuta Dengen, dan kesepuluh
jenis kotoran yang ditimbulkannya dapat diruwat oleh ajian Bhatara Wisnu
Japasari, namanya. Demikian adikku, jangan lalai, jangan lupa, ingatlah. Wahai
adikku sang Klimosadha dan sang Klimosadhi, setelah aku memberi petuah
kepadamu, kini aku bertanya kepada-mu. Kalian telah melakukan pengobatan sejak
dulu kala, bagaimana tatacara dan aturanmu dalam menentukan besar-kecilnya uang
persembahan? Bagaimana caramu menerima uang persembahan itu? Jelaskanlah hal itu
dengan sebenarnya, agar aku mengetahui!” Dengan lembut sang Klimosadha dan sang
Klimosadhi menjawab: “Baiklah Tuan, beginilah tatacara hamba sejak dulu.
Setelah hamba selesai memberikan pengobatan, uang persembahan sebesar sepuluh
ribu, hanya tujuh ribu hamba ambil. Jika uang persembahan itu sebesar tujuh
ribu, hamba minta dua ribu saja. Jika uang persembahan itu sebesar seribu,
hanya lima ratus hamba ambil. Demikianlah tatacara hamba dulu!” Sang
Budhakecapi berkata: “Jika begitu, kau tidak dikutuk oleh Sang Puseh Daksina,
dan oleh Bhagawan Resi Cintya, Nini Panyeneng, Sanghyang Pura Daksina,
beliaulah yang mempunyai hak terhadap uang persembahan itu, segala hadiah,
Sanghyang Daksina memilikinya, sebab beliau adalah dewanya. Oleh karena itu
semua dukun sakti bisa hancur, perilakunya tidak menentu, terlunta-lunta
menjadi fakir miskin, hal itu sangat berbahaya bagi dirimu juga, sekarang
kalian menjadi dukun, janganlah berbuat demikian, sebab bahayanya bisa menimpa
keturunan, tidak hemat dalam makan dan minum, boros sekali, sangat lalai, amat
buruk, ketika ajalnya tiba akan menemukan kesengsaraan. Uang persembahan yang
patut kau ambil semua adalah yang dipersembahkan oleh orang melahirkan, dan
oleh orang keguguran. Persembahan semacam itu boleh kau ambil semuanya. Dan
jika ada orang membayar kaul kepadamu, (uang persembahannya) patut dibagi tiga,
setelah kau selesai menyaksikan (mempersembahkan) kepada Sanghyang Widhi. Yang
dua bagian untukmu, dan yang sebagian lagi diberikan dengan iklas kepada yang
diobati agar kau pantas diundang oleh si pasien. Jika kau memeriksa orang
sakit, janganlah kau mendalih, jangan menuduh sembarangan, berbuatlah kau
supaya dipercaya oleh pasien, kau tidak boleh sembarangan, Sanghyang Adnyana
Sidhi patut dipuja, jangan suka mendengar sembarangan, mengapa demikian? Jika
ada orang sakit disebabkan leluhur, lalu kau katakan oleh dewa, leluhur itu
akan mengutukmu, sebab di kedewaan itu sepi (kosong), maaf, sebab tidak ada
dewa yang menyakiti, kau lalu mengatakan dari dewa. Itulah sebabnya. Dan jika
sakit itu disebabkan dewa, lalu kau katakan penyakit itu dari leluhur, leluhur
dan dewa itu akan mengutukmu, karena kau menuduh-nya. Demikianlah adikku. Ada
pula sebab dewa menyakiti manusia, karena ada kaul yang belum dibayarnya,
sehingga menimbulkan bencana penyakit. Jalan keluarnya supaya lekas sembuh,
harus dibayar. Oleh karena itu banyak dukun dikutuk karena salah sangka. Hal
ini dinamakan kutukan Bhatara dan kutukan Dewa. Hal ini patut didengar dengan
saksama. Akhirnya, si dukun mati karena salah ucap. Jika tidak demikian, kau
akan dituduh jahat oleh sesamamu!” Lalu sang Klimosadhi dan sang Klimosadha
berkata: “Sekarang jelaskan kepada hamba semua jenis penyakit agar hamba paham,
segala jenis penyakit yang ditimbulkan oleh leluhur, yang ditimbulkan oleh
Bhuta, serta tanda orang akan mati, dan hidup (sembuh), itulah jelaskan kepada
hamba!” Sang Bhudakecapi menjawab: “Wahai sang Klimosadha dan sang Klimosadhi,
sekarang aku menjelaskan kepadamu, dengarkanlah baik-baik, ingatlah dalam
pikiranmu, jangan lupa, jangan lalai, beginilah hakikat penyakit itu. Orang
yang akan mati dan yang akan sembuh, beginilah cara memeriksanya, yakni
memeriksa dengan saksama tatapan mata si pasien, sebab di sanalah tampak
bayangannya, yang panas maupun yang dingin, ataupun yang sedang, serta
tanda-tandanya, awasilah dengan baik, jika tampak tenaganya memencar dalam
sekejap di matanya, awasilah pula dalam anak-anakan kedua matanya. Jjika tampak
kedua anak-anakan matanya bergerak, dan sinar matanya kadangkala terang kadangkala
keruh, nah jika persis seperti itu, itu tanda orang akan mati, pada hari dia
mulai terkena penyakit, lamanya dua belas hari, orang itu akan mati. Mengapa
demikian? Sebab Sanghyang Komaragana, Sanghyang Komarakedep telah pergi. Itulah
sebabnya ia mati. Janganlah kau melakukan pengobatan. Beginilah asal mula
penyakit itu. Ada darah mati sedikit, berada di selaput pembungkus paru-paru,
tetapi lepas tanpa ikatan. Lalu ada hawa panas dibungkus oleh air hamis, yang
berada di dalam lobang jantung, dan lagi daging putih dicampuri oleh sang
Nubatha, sehingga daging putih itu panas, karena dicampuri oleh panas membara,
di situlah semua air mendidih, lalu darah mengering dan mati, kemudian menyusup
ke seluruh daging di dalam tubuh, sehingga seluruh otot lemas, seluruh lemak
mengering, men-didih, hingga ke dada, mengental di kerongkongan, itulah
sebabnya penyakit itu melemaskan, membuat kepala pusing, sempoyongan, sehingga
tubuh menjadi kurus, telah disusupi oleh hawa dingin, lalu menjadi gerah dan
semutan, pegal-pegal, karena semua ditunggui oleh sang Banyu Budha, disertai
oleh panas membara, tempat bercokolnya adalah di bawah kerongkongan, inilah
sabda sucinya: Ih dwel, akweh (ucapkan 3 kali). Ada lagi, wahai adikku, cara
menebak penyakit menahun, sebab sulit menebaknya, beginilah cara meramalnya.
Kau makan sirih dulu, setelah hancur, janganlah membuang ludah merahmu,
keluarkan sepah itu, dan diberi mantera. Setelah diberi mantera, suruhlah
pasien makan sepah itu. Setelah makan, suruhlah ia mengeluarkan ludah merahnya,
saat itu awasilah dengan saksama ludah yang keluar itu. Jika ludahnya keluar
dengan baik, orang itu boleh ditolong. Jika ludah yang keluar itu kotor, itulah
tanda orang itu akan mati, jangan melakukan pengobatan. Jika ada endapan kotor
pada ludahnya, itu pertanda orang akan mati seketika, jangan melakukan
pengobatan. Jika kau melanggar, kau akan terkena kutukan oleh Sanghyang Mantera
Sidhi. Inilah mantera sepah: Oý sang dora kala, sang dora kali, inêbang babahan
raûanña, sanghyang urip, sanghyang prêmaóa, sanghyang katimang, tan palawan,
sun atakon pati uripe syanu, lah ta poma siràngurahana, poma (ucapkan tiga
kali). Jika ada penyakit berbahaya, yang gejalanya ada keringat keluar deras
dari telinganya, dan sedikit lengket. Itu pertanda Sanghyang Bayu telah pergi.
Orang itu akan mati, tidak bisa ditolong. Ada lagi, jika ada pasien tampak
ber-asap di ubun-ubunnya, itu dinamakan asap langit, jeda waktu hidup dan
matinya adalah tujuh hari. Jika tidak mati dalam tempo tujuh hari, boleh
diberikan pengobatan. Jika seperti itu penyakitnya, Bhatara Iswara
menginginkannya supaya tetap hidup, Bhatara Siwa menaruh kasih sayang
kepadanya, itulah sebabnya muncul asap langit (kukus ambara). Dan lagi jika ada
penyakit berbahaya, segala jenis obat tidak ada yang mempan, dan penyakitnya
telah lanjut, sehingga penyakitnya menjadi kronis, caranya adalah peganglah
kedua telinganya, jika kedua telinganya terasa kaku, dan persis seperti itu,
orang itu akan mati perlahan-lahan, sebab Sang Pramana dan Sanghyang Adnyana
Sidhi telah pergi. Jika ada orang sakit, mukanya berlainan sebelah, dan
mulutnya menganga, (tanda) Sanghyang Atma telah pergi. Orang itu akan mati,
sebab Sanghyang Atma pergi melalui jiwa. Dan jika orang sakit menahun serta
sangat kronis, tekanlah lambungnya, jika ia tidak merasa geli, (tanda)
Sanghyang Bayu telah pergi. Orang itu akan mati, tidak bisa ditolong. Jika ada
orang sakit berbahaya, peganglah dahinya, tepat di antara kedua alisnya, jika
di sana ada bagian yang melorot, perhatikanlah pula jari-jarinya, jika lemas
dan kaku di ujung-ujungnya, tidak sampai dua hari, orang itu akan mati, sebab
Sanghyang Manon telah pergi, jangan melakukan pengobatan. Ada lagi jenis
penyakit berbahaya, peganglah tangan dan kakinya, jika tenaganya lemas,
peganglah pada tubuhnya, jika terasa panas gerah hingga ke kepalanya, kedua
aliran nafas di hidungnya terasa panas, orang itu akan mati, sebab Sanghyang
Bayu sebagai sumber tenaganya telah pergi, dan Sanghyang Manon telah pergi.
am di celah Sanghyang Omkara Mula, Bhatara Iswara bersemayam di lepitan Genta Pinara Pitu. Ketiga wujud Sanghyang Tiga dipuja oleh Bhatara Siwa, (Sadasiwa), Paramasiwa, sama-sama bersemayam di alam makrokosmos dan mikrokosmos. Inilah tempat per-semayamannya, yang dinamakan Sanghyang Aksara Sanga, yakni Oý, Sang, Bang, Ing, Nang, Mang, Úing, Wang, Yang. Sanghyang Omkara Mula terdiri atas Ang Ung Mang. Ung adalah pinggala *, Mang adalah sumsum belakang, di bagian tengah dada. Ang adalah pusar bagian kanan. Inilah istana bagi Brahma
Pinggala * Pembuluh khusus dalam tubuh (tiga pipa pembuluh di sebelah kanan) yang menurut filsafat Yoga adalah bagian utama dari nafas dan udara.
Wisnu, Iswara. Hyang Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa, tempat persemayaman beliau adalah di lepitan Genta Pinara Pitu, yang terdiri atas Ang Oý bhùwebrörà; ngêp-ngêp. Begitulah tempat persemayaman beliau, adikku, yang harus kau ketahui. Itu harus diupacarai setiap hari sehingga bersih dalam menjalankan ibadat puasa, itu sangat utama, baik siang maupun malam hari, selama hidup, beliau merupakan kekuatan gaib yang sangat ampuh, abadi dalam alam semesta. Bhatara Brahma berwujud makanan, Bhatara Wisnu berwujud sumber nafas, Bhatara Iswara merupakan jiwa ketiga dunia. Jika kau memberi kekuatan gaib pada obat, Sanghyang Tiga itu harus dipuja dengan penuh keyakinan, tunggalkan menjadi satu. Caranya menunggalkan adalah satukan nafas yang keluar, pusatkan pikiran padanya, jika kau telah yakin, jangan goyah, jangan mendengar suara apapun, setelah itu, keluarkan Sanghyang Mantra. Jika Sanghyang Tiga keluar, rasakanlah. Cara mengeluarkan beliau dan tatacara menunggalkannya adalah Dewa di ujung kekosongan, dipertemukan di ujung penglihatan, kemudian ditunggalkan lagi di ujung hidung. Setelah itu, Sanghyang Tiga akan muncul. Tanda-tanda kemunculannya adalah ada kedutan di pangkal hidungmu, dan pandanganmu menjadi kabur, seluruh tubuh terasa lemah tanpa tenaga, demikianlah tanda-tanda kemunculan Sanghyang Tiga, sebab beliau telah pergi dari tubuh (mikrokosmos), berjalan bersama dengan Sanghyang Mantra pada kekuatan gaib. Dan lagi pujalah Sanghyang Komara dan Sanghyang Komara sidhi, Sanghyang Tan Hana Komara dituntun menuju Sanghyang Komara tunggal. Sabda suci beliau Sanghyang Tiga: Ang adalah Brahma, berjalan di lobang hidung bagian kanan. Ung adalah Wisnu, berjalan di lobang hidung sebelah kiri. Mang adalah Iswara, berjalan di ujung hidung bagian tengah, bersama-sama kesembilan dewa. Sabda sucinya adalah Oý Sa Ba Ta A I Na Ma Úi Wa Ya, tlas. Ada lagi kemunculan Bhatara Guru yang muncul dari makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (tubuh manusia) yang dinamakan hati putih. Hati maksudnya batinmu. Putih maksudnya lintas tembusnya. Jika ditunggalkan, maka menjadi ati putih, maksudnya tembus hingga ke lingkaran pandanganmu, beginilah sabda gaibnya: Oý Ung. Ini adalah ajian sangat rahasia, jangan sembrono. Ajian ini merupakan penjaga nyawa. Ini pula dinamakan rwabhineda (dualisme kekuatan) dalam diri, jika di alam semesta yang berada di bawah, di dalam diri menjadi pangkal hati merah. Rwabhineda di luar tubuh adalah tempat pembenaman hidup-mati, aksara sucinya adalah Ang Ah (ucapkan tiga kali). Itulah yang muncul ke pusat kedua mata. Jika kau tekun dalam beryoga, beliau akan berubah wujud menjadi air mata. Ingatlah ketika beliau masih berada di alam, itu sangat kotor. Dan lagi yang harus diingat ketika kau beryoga adalah pujalah dan tuntunlah Bhatara Guru, turunkan beliau dari pusat mata, arahkan dengan tepat perjalanan beliau menuju lekuk-lekuk hidung. Jika sudah seperti itu, adikku, pusatkan batinmu dan luruskan dengan penuh keyakinan. Jika telah tenang rasanya menunggal, itulah dinamakan sekumpulan pandangan dan merupakan titik temu batin. Jika sudah demikian, maka di sana kesembilan dewata turun, jalannya turun adalah melalui ujung pusat penglihatan, sabda sucinya A (diucapkan tiga kali), beliau akan turun. Itulah dinamakan sabda Sanghyang Amreta. Itulah air suci kehidupan tanpa kotoran. Ingatlah dengan baik segala perintah Sanghyang Amreta mantra, jika sedang berkelana, sebagai tempat para dewa bertemu rasa, dan bersenda gurau, demikian pula ketika mengucapkan mantera dan yoga sehingga Sanghyang Amreta muncul, secara tiba-tiba. Jika telah tampak jelas olehmu, cepatlah diambil, pasanglah sebagai bhasma di antara kedua alis. Jika tepat dan teguh olehmu melakukan, keampuhannya menjadi luar biasa, demikian pula kesucian kekuatannya, bagaikan keteguhan yang ampuh, sebab lagi berpulang kembali ke dalam tubuhmu, menyusup di tempatnya, jangan sembrono, jangan diobral, jika kau durhaka terhadap anugrahku ini, semoga kau mati, ditusuk orang gila, semoga kau dituduh penjahat oleh sesamamu. Adikku sang Klimosadha dan sang Klimosadhi, janganlah kalian lupa ingatlah, sangat besar bahayanya, sebab ini sangat rahasia, karena jarang orang paham tentang hakikat keluar-masuk ajian ini, memang banyak orang tahu ajaran seperti ini, hakikat yang nyata tak nyata, namun tidak ada orang yang tahu tentang keadaan yang sejati!” Lalu sang Klimosadhi bertanya: “Hamba memohon kembali penjelasan tentang hakikat dewa, mengapa Sanghyang Tiga dijadikan guru oleh Ki Bhuta Kala Dengen, dan para Pamala-Pamali, serta segala penyakit, bagaimana bisa demikian? Hal itulah mohon dijelaskan lagi!” Sang Budhakecapi menjawab: “Wahai adikku, beginilah asal-usulnya. Adapun awal mula adanya dukun, adanya obat, dan juga awal mula adanya penyakit, serta asal-usul penderitaan, beginilah sebab-musababnya. Ketika aku bertapa, dengan sangat tekun dan kokoh, aku bersemadi, ada yang memberikan anugrah kepadaku, yakni diberi wahyu oleh Hyang Nini Dalem, Hyang Nini yang dinamakan Bhatari Durga, dialah yang bersemayam di dalam diriku, beliau bersemayam di bagian dalam dari dalam tubuhku. Pelataran istana Bhatari Durga adalah di lekukan bibir atas, di bawah hidung, jika dipuja di bawah akan menimbulkan penyakit, jika diarahkan ke sela-sela alis dan dipertemukan dengan Bhatara Guru, beliau akan menjadi dukun. Ada lagi petuah Hyang Nini, adalah ajian sangat rahasia, berada di mikrokosmos (dalam tubuh manusia), dinamakan ajian Usadhasari, tentang dukun wanita yang berada di bawah pusar, meruwat jenis penyakit panas, dan ada pula dukun laki-laki, berada di tulang, bernama I Dukuh Sakti, menyembuhkan segala jenis penyakit dingin. Ada pula dukun segala jenis penyakit, ketahuilah ia berada di ubun-ubun, dapat menyembuhkan segala jenis penyakit, ia bernama Hyang Sangkul Putih, bisa mengobati segala penyakit, Hyang Tiga pada menjadi gurunya. Bhatara Brahma mengadakan semua penyakit, dijadikan guru oleh Bhuta Kala Dengen, Pamala-pamali, Ki Bhuta Setan, I Bhuta Jin, I Bhuta Licin, I Bhuta Kakawah, I Bhuta Sliwah, I Bhuta Ari-ari, I Bhuta Rudira, I Bhuta Emba-emba, mereka semua beryoga menciptakan berbagai penyakit, berkat yoga Bhatara Brahma sehingga muncul berbagai penyakit di dunia manusia. Lalu Bhatara Wisnu beryoga menciptakan obat, muncul dari Sanghyang Suksmadhana wisesa, dari ginjal, warnanya kuning, dan inilah sabda suci Wisnu: Ung Ung bata, sebagai junjungan Sanghyang Durada Angga, yang muncul dari penggantungan hati, gaib dan sangat sakti, warnanya jernih tanpa kotoran, sabda sucinya: Rang. Sanghyang Suksma dharma wisesa muncul dari dalam jantung, sabda sucinya: Oý, rupanya sangat indah, bagaikan lampu minyak tanpa asap, mereka sekalian ikut beryoga bersama Bhatara Wisnu, menciptakan segala obat. Ada lagi yang menjadi penyakit, beginilah asal-usulnya, dan pula yang dapat menawarnya. Jika sang Bhuta Dengen menimbulkan penyakit, Hyang Nini Siwagotra bertugas mengobati dan sembuh. Jika I Larung memasang guna-guna, Hyang Mpu Siwagandu berhak mengobati, pasti cepat sembuh. Jika I Lendia memasang guna-guna, Hyang Wisnu Panjaram menciptakan obatnya sehingga lekas sembuh. Jika I Jaran Guyang mengadakan penyakit, Hyang Jala Sangkara mengobati, lekas sembuh. Jika I Weksirsa memasang guna-guna, I Cambra Brag mengobati dan lekas sembuh. Jika I Lendi memasang guna-guna, Hyang Pangakan Beha menciptakan obat, lekas sembuh. Jika I Rangdeng Jirah memasang guna-guna, Hyang Mpu Pradah mengadakan obat, lekas sembuh. Segala jenis penyakit akibat guna-guna, Hyang Mpu Bawula mengadakan obat untuknya, lekas sembuh. Segala jenis guna-guna yang amat tajam dan ampuh, sebagai hasil yoga Bhatara Brahma, dengan murid-muridnya adalah Ki Bhuta Dengen, dan kesepuluh jenis kotoran yang ditimbulkannya dapat diruwat oleh ajian Bhatara Wisnu Japasari, namanya. Demikian adikku, jangan lalai, jangan lupa, ingatlah. Wahai adikku sang Klimosadha dan sang Klimosadhi, setelah aku memberi petuah kepadamu, kini aku bertanya kepada-mu. Kalian telah melakukan pengobatan sejak dulu kala, bagaimana tatacara dan aturanmu dalam menentukan besar-kecilnya uang persembahan? Bagaimana caramu menerima uang persembahan itu? Jelaskanlah hal itu dengan sebenarnya, agar aku mengetahui!” Dengan lembut sang Klimosadha dan sang Klimosadhi menjawab: “Baiklah Tuan, beginilah tatacara hamba sejak dulu. Setelah hamba selesai memberikan pengobatan, uang persembahan sebesar sepuluh ribu, hanya tujuh ribu hamba ambil. Jika uang persembahan itu sebesar tujuh ribu, hamba minta dua ribu saja. Jika uang persembahan itu sebesar seribu, hanya lima ratus hamba ambil. Demikianlah tatacara hamba dulu!” Sang Budhakecapi berkata: “Jika begitu, kau tidak dikutuk oleh Sang Puseh Daksina, dan oleh Bhagawan Resi Cintya, Nini Panyeneng, Sanghyang Pura Daksina, beliaulah yang mempunyai hak terhadap uang persembahan itu, segala hadiah, Sanghyang Daksina memilikinya, sebab beliau adalah dewanya. Oleh karena itu semua dukun sakti bisa hancur, perilakunya tidak menentu, terlunta-lunta menjadi fakir miskin, hal itu sangat berbahaya bagi dirimu juga, sekarang kalian menjadi dukun, janganlah berbuat demikian, sebab bahayanya bisa menimpa keturunan, tidak hemat dalam makan dan minum, boros sekali, sangat lalai, amat buruk, ketika ajalnya tiba akan menemukan kesengsaraan. Uang persembahan yang patut kau ambil semua adalah yang dipersembahkan oleh orang melahirkan, dan oleh orang keguguran. Persembahan semacam itu boleh kau ambil semuanya. Dan jika ada orang membayar kaul kepadamu, (uang persembahannya) patut dibagi tiga, setelah kau selesai menyaksikan (mempersembahkan) kepada Sanghyang Widhi. Yang dua bagian untukmu, dan yang sebagian lagi diberikan dengan iklas kepada yang diobati agar kau pantas diundang oleh si pasien. Jika kau memeriksa orang sakit, janganlah kau mendalih, jangan menuduh sembarangan, berbuatlah kau supaya dipercaya oleh pasien, kau tidak boleh sembarangan, Sanghyang Adnyana Sidhi patut dipuja, jangan suka mendengar sembarangan, mengapa demikian? Jika ada orang sakit disebabkan leluhur, lalu kau katakan oleh dewa, leluhur itu akan mengutukmu, sebab di kedewaan itu sepi (kosong), maaf, sebab tidak ada dewa yang menyakiti, kau lalu mengatakan dari dewa. Itulah sebabnya. Dan jika sakit itu disebabkan dewa, lalu kau katakan penyakit itu dari leluhur, leluhur dan dewa itu akan mengutukmu, karena kau menuduh-nya. Demikianlah adikku. Ada pula sebab dewa menyakiti manusia, karena ada kaul yang belum dibayarnya, sehingga menimbulkan bencana penyakit. Jalan keluarnya supaya lekas sembuh, harus dibayar. Oleh karena itu banyak dukun dikutuk karena salah sangka. Hal ini dinamakan kutukan Bhatara dan kutukan Dewa. Hal ini patut didengar dengan saksama. Akhirnya, si dukun mati karena salah ucap. Jika tidak demikian, kau akan dituduh jahat oleh sesamamu!” Lalu sang Klimosadhi dan sang Klimosadha berkata: “Sekarang jelaskan kepada hamba semua jenis penyakit agar hamba paham, segala jenis penyakit yang ditimbulkan oleh leluhur, yang ditimbulkan oleh Bhuta, serta tanda orang akan mati, dan hidup (sembuh), itulah jelaskan kepada hamba!” Sang Bhudakecapi menjawab: “Wahai sang Klimosadha dan sang Klimosadhi, sekarang aku menjelaskan kepadamu, dengarkanlah baik-baik, ingatlah dalam pikiranmu, jangan lupa, jangan lalai, beginilah hakikat penyakit itu. Orang yang akan mati dan yang akan sembuh, beginilah cara memeriksanya, yakni memeriksa dengan saksama tatapan mata si pasien, sebab di sanalah tampak bayangannya, yang panas maupun yang dingin, ataupun yang sedang, serta tanda-tandanya, awasilah dengan baik, jika tampak tenaganya memencar dalam sekejap di matanya, awasilah pula dalam anak-anakan kedua matanya. Jjika tampak kedua anak-anakan matanya bergerak, dan sinar matanya kadangkala terang kadangkala keruh, nah jika persis seperti itu, itu tanda orang akan mati, pada hari dia mulai terkena penyakit, lamanya dua belas hari, orang itu akan mati. Mengapa demikian? Sebab Sanghyang Komaragana, Sanghyang Komarakedep telah pergi. Itulah sebabnya ia mati. Janganlah kau melakukan pengobatan. Beginilah asal mula penyakit itu. Ada darah mati sedikit, berada di selaput pembungkus paru-paru, tetapi lepas tanpa ikatan. Lalu ada hawa panas dibungkus oleh air hamis, yang berada di dalam lobang jantung, dan lagi daging putih dicampuri oleh sang Nubatha, sehingga daging putih itu panas, karena dicampuri oleh panas membara, di situlah semua air mendidih, lalu darah mengering dan mati, kemudian menyusup ke seluruh daging di dalam tubuh, sehingga seluruh otot lemas, seluruh lemak mengering, men-didih, hingga ke dada, mengental di kerongkongan, itulah sebabnya penyakit itu melemaskan, membuat kepala pusing, sempoyongan, sehingga tubuh menjadi kurus, telah disusupi oleh hawa dingin, lalu menjadi gerah dan semutan, pegal-pegal, karena semua ditunggui oleh sang Banyu Budha, disertai oleh panas membara, tempat bercokolnya adalah di bawah kerongkongan, inilah sabda sucinya: Ih dwel, akweh (ucapkan 3 kali). Ada lagi, wahai adikku, cara menebak penyakit menahun, sebab sulit menebaknya, beginilah cara meramalnya. Kau makan sirih dulu, setelah hancur, janganlah membuang ludah merahmu, keluarkan sepah itu, dan diberi mantera. Setelah diberi mantera, suruhlah pasien makan sepah itu. Setelah makan, suruhlah ia mengeluarkan ludah merahnya, saat itu awasilah dengan saksama ludah yang keluar itu. Jika ludahnya keluar dengan baik, orang itu boleh ditolong. Jika ludah yang keluar itu kotor, itulah tanda orang itu akan mati, jangan melakukan pengobatan. Jika ada endapan kotor pada ludahnya, itu pertanda orang akan mati seketika, jangan melakukan pengobatan. Jika kau melanggar, kau akan terkena kutukan oleh Sanghyang Mantera Sidhi. Inilah mantera sepah: Oý sang dora kala, sang dora kali, inêbang babahan raûanña, sanghyang urip, sanghyang prêmaóa, sanghyang katimang, tan palawan, sun atakon pati uripe syanu, lah ta poma siràngurahana, poma (ucapkan tiga kali). Jika ada penyakit berbahaya, yang gejalanya ada keringat keluar deras dari telinganya, dan sedikit lengket. Itu pertanda Sanghyang Bayu telah pergi. Orang itu akan mati, tidak bisa ditolong. Ada lagi, jika ada pasien tampak ber-asap di ubun-ubunnya, itu dinamakan asap langit, jeda waktu hidup dan matinya adalah tujuh hari. Jika tidak mati dalam tempo tujuh hari, boleh diberikan pengobatan. Jika seperti itu penyakitnya, Bhatara Iswara menginginkannya supaya tetap hidup, Bhatara Siwa menaruh kasih sayang kepadanya, itulah sebabnya muncul asap langit (kukus ambara). Dan lagi jika ada penyakit berbahaya, segala jenis obat tidak ada yang mempan, dan penyakitnya telah lanjut, sehingga penyakitnya menjadi kronis, caranya adalah peganglah kedua telinganya, jika kedua telinganya terasa kaku, dan persis seperti itu, orang itu akan mati perlahan-lahan, sebab Sang Pramana dan Sanghyang Adnyana Sidhi telah pergi. Jika ada orang sakit, mukanya berlainan sebelah, dan mulutnya menganga, (tanda) Sanghyang Atma telah pergi. Orang itu akan mati, sebab Sanghyang Atma pergi melalui jiwa. Dan jika orang sakit menahun serta sangat kronis, tekanlah lambungnya, jika ia tidak merasa geli, (tanda) Sanghyang Bayu telah pergi. Orang itu akan mati, tidak bisa ditolong. Jika ada orang sakit berbahaya, peganglah dahinya, tepat di antara kedua alisnya, jika di sana ada bagian yang melorot, perhatikanlah pula jari-jarinya, jika lemas dan kaku di ujung-ujungnya, tidak sampai dua hari, orang itu akan mati, sebab Sanghyang Manon telah pergi, jangan melakukan pengobatan. Ada lagi jenis penyakit berbahaya, peganglah tangan dan kakinya, jika tenaganya lemas, peganglah pada tubuhnya, jika terasa panas gerah hingga ke kepalanya, kedua aliran nafas di hidungnya terasa panas, orang itu akan mati, sebab Sanghyang Bayu sebagai sumber tenaganya telah pergi, dan Sanghyang Manon telah pergi.